Jumat, 23 September 2016




"Bu, apa aku ini bodoh?" tanya Syafa (hanya samaran), 6 tahun, pada ibunya hari itu.

Ibunya terhenyak. "Kenapa tanya begitu? Siapa yang bilang kamu bodoh?" tanya ibunya sedikit marah.

"Bu Dhe itu yang bilang kalau aku ini bodoh," jelasnya polos.

Syafa ini adalah anak tetangga saya. Dari cerita ibunya, dia memang belum dinaikkan ke kelas satu, karena dari sisi kemandirian dan juga umur, menurut gurunya, memang masih kurang. Ibunya pun juga memilih agar anaknya ini belajar di TK, setahun lagi, sebelum nantinya naik ke bangku sekolah dasar.

Hanya karena Syafa masih tinggal kelas di TK, ada tetangganya yang nyeplos menyebutnya bodoh. Mungkin baginya, anak sekecil Syafa hanyalah anak polos yang tidak terlalu menganggap serius dengan sebutan bodohnya. Padahal sebutan bodoh bisa saja mempengaruhi psikisnya. Beruntunglah, ibunya bisa meyakinkannya kalau dia bukan anak bodoh. 

Syafa juga salah satu murid TPA saya. Dia ini memang tipikal anak yang harus diyakinkan dulu sebelum belajar.

"Bu guru, aku nggak bisa baca iqro'," lapornya sebelum belajar membaca iqro'. 

"Bisa. Mbak Syafa kan anak pintar. Kalau mbak Syafa berusaha, insyaAllah bisa kok. Ayo, belajar sama Bu Guru," terang saya berusaha meyakinkan. Dia akhirnya mau, tapi di tengah jalan dia lagi-lagi akan mengatakan kalau dia tidak bisa.

Saya pun Pernah Disebut Bodoh


Kisah Syafa ini mengingatkan saya pada masa kecil dulu. Ya, saya adalah korban dari orang-orang dewasa yang enteng melabeli saya dengan sebutan si bodoh. 

Saudara dan sepupu-sepupu saya rata-rata termasuk anak paling pintar di kelas (baca: selalu dapat rangking 1 di kelas, atau minimal dapat 3 besar). Sementara saya? Saya hampir tak pernah dapat rangking di kelas. Bahkan nilai saya pernah sejajar dengan murid yang sering berada di urutan akhir. 

Saya bisa dapat rangking 3 di kelas, kata mereka, hanya saat guru kelasnya adalah tetangga saya sendiri. Itu pun di depan mata saya, dia bilang kalau kemampuan saya menguasai pelajaran sangat kurang sekali. Bahkan disamakan dengan murid lain yang nilainya paling rendah. Lah, kenapa juga saya dikasih rangking 3? Batin saya. Karena begitu membekas, sampai sekarang saya masih mengingat detail tempat dimana si bapak guru ini menyebut saya begitu lho. Hihihi.

Padahal, sebetulnya saya juga pernah dapat rangking 3 saat guru kelasnya adalah bu guru S. Beliau bukan tetangga apalagi kerabat dan saya pun tidak terlalu dekat dengannya. Ini artinya?

Tapi saking banyaknya orang yang menyebut saya bodoh, membandingkan dengan saudara dan sepupu yang selalu rangking 1, membuat saya semakin tidak percaya diri dengan kemampuan saya. Saya pun jadi merumuskan sendiri sehingga melekat kuat dalam benak saya: SAYA BODOH, SAYA TIDAK AKAN BISA. 


Sampai satu ketika saat duduk di bangku kelas 6, guru yang selalu memarahi saya dan selalu menyebut saya sok pintar--karena saya seringkali punya cara sendiri ketika diajar olehnya--tiba-tiba mendekati saya di koridor kelas. "Kalau kamu pingin pintar, dapat rangking di kelas, berusahalah, belajar yang rajin."


Kalimat itu perlahan menyadarkan saya bahwa siapapun kita, jika berusaha, insyaAllah bisa. Mungkin kalimat itu hanya sepele, tapi efeknya sungguh luar biasa bagi saya, saya yang kala itu hampir-hampir tidak percaya diri dengan kemampuan saya. Setidaknya kalimat pelecut itu mampu memotivasi untuk giat belajar lagi.

Alhamdulillah berkat kerja keras, saya bisa mendapat NEM (Nilai Ebtanas Murni) terbaik nomor dua di sekolah. Hasil yang membanggakan ini ternyata mengejutkan bagi orangtua siswa yang anaknya sering dapat rangking di kelas. 

"Masa' sih Is yang bodone ngetheki (dalam bahasa Jawa, kata-kata ini termasuk kasar yang artinya bodoh sekali) bisa dapat NEM tinggi? Pasti dia nyogok itu," tuduh seorang ibu.

Nyeseknya, kalimat itu diucapkan di depan saya langsung. Saat itu saya duduk di dipan emperan rumah teman saya yang dapat NEM tertinggi. Saya harus mengulum senyum lebar-lebar kepada ibu tersebut, sembari menahan air mata agar tidak menyembul keluar. Dalam batin saya kala itu, apa dipikir saya nggak paham dengan kalimat yang diungkapkannya. Saking membekasnya, saya lagi-lagi masih mengingat detail kejadiannya sampai sekarang.

Sepulang ke rumah, tangis saya tumpah ruah. Sesegukan sendirian karena kedua orangtua sibuk bekerja di luar rumah. Siangnya saya ketemu saudara sepupu, saya curhat kepadanya. 

"Nggak usah dimasukin ke hati. Yang penting kan kamu emang nggak nyogok. Biar mereka ngatain apa, nggak usah dipikirin," ujarnya menasihati. Saya langsung lega. Nggak ada gunanya juga mikirin hal yang nggak penting bukan?

Beruntunglah saat itu label 'bodoh' yang disematkan pada saya hanya berpengaruh pada kemampuan akademik. Saya hanya tidak percaya diri untuk masalah penguasaan ilmu di sekolah saja, selebihnya saya bukanlah seorang anak yang suka menyendiri, tidak percaya diri untuk bergaul bersama teman-temannya. 

Saya sendiri tipikal orang yang hanya sakit hati pada saat itu, setelahnya akan menjadi hal yang amat nggak penting jika saya sampai harus menyimpan luka hati terus-terusan. Kalau toh saya bisa mengingat detail kejadian, itu bukan karena masih menyimpan luka. Sejauh ini saya memang bisa mengingat detail kejadian pada satu kejadian yang spesial, entah suka ataupun duka.


Inilah mengapa, Ayah Bunda, janganlah sekali-kali menyebut anak kita termasuk anak orang lain, dengan sebutan bodoh! Jangan pikir mereka ini masih polos sehingga tidak mengerti atau mungkin tidak sampai berpengaruh buruk pada psikisnya.

Seperti kata Albert Einstein bahwa setiap anak itu genius. Namun jika kita menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat sebatang pohon, maka dia akan berpikir dirinya bodoh di sepanjang hidupnya. Semoga bermanfaat. :)
Categories: ,

12 komentar:

  1. Terimakasih Mba untuk sharingnya, bener banget jangan pernah bilang ke anak bodoh yah. Salam kenal Mba:)

    BalasHapus
  2. Ih saya malah pernah mbak diragukan sama guru saya sendiri pas dpt nem tertinggi. Soalnya biasanya saya hanya dpt peringkat 5 besar saja. Dan itu nyesek bgt smp sekarang.

    Soal naik kelas atau tidak saya malah ingat murid saya di kelas 1 mbak. Galau bgt kalau mau tidak dinaikkan. Tapi ya anaknya rmang brlum bisa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi, emang rasanya nyesek banget kalo sampe diragukan ya mbak. Tapi kalo saya nggak mau sampai nyimpen luka lama-lama. :)

      Hapus
  3. Labeling gtu emang bikin drop ga hanya buat anak-anak saya yang dewasa saja ketika dilabel yang buruk oleh orang lain langsung down mba :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah...itu rasanya juga nggak enak banget mbak. Saya pernah digituin pas awal-awal kerja dulu. Padahal kan kita baru adaptasi, eh kok langsung dilabeli buruk. Sampai saya jadinya merasa down dan sukses bikin nangis sendirian pas naik bus. :D

      Hapus
  4. Aku dulu juga sering juga dibilangin bodo mb...sama kakak sulungku mlh..itu krn aku sering nggak paham/ nilai jelek di bid eksakta ( mat/fisika/ kimia). Hasilnya..aku mlh tambah benci sama mapel2 itu. Tapi cara mbuktiin ke kakak klo aku tidak sebodoh yang dia kira..NEM ku lumayan tinggi terus, tapi dari hasil akumulasi mapel non eksakta

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama mbak. Dulu aku paling nggak pede kalo diajarin pelajaran eksak. Mulai SMP, karena aku ketemu guru yang bisa motivasi, jadinya aku lumayan suka pelajaran eksakta. Pas SMA, aku malah ketemu guru yang dukung banget, aku malah jadi jatuh cinta terutama sama pelajaran matematika. :)

      Hapus
  5. Haduh, kalo urusan lidah saat hati marah aku tuh ngejagaaaa banget jangan sampai salah ucap ngeluarin label ke anak yg ujung2nya ke penyesalanku sendiri.
    Makanya kalo aku marah, aku suruh anakku masuk kamar. Supaya aku bisa reda dan mulut juga mingkem, ga nyakitin hati anak.

    TFS, ya mbak Isna.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Solusi yang bagus mbak. Ya karena kalo lagi kesel, kadang lidah kita bisa nyeplos kaak gitu.

      Hapus
  6. yang menyebabkan hingga sata ini saya diam2an dengan ex atasan karena dia menyebut bodoh, rasanya merendahkan sekali *malah tjurhat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emang kalo orang yang gak cerdas secara emosional biasanya gitu mbak Ev. Suka ngerendahin orang. #eh :D

      Hapus

Mohon maaf komentarnya saya moderasi. Hanya untuk memastikan ada komentar dan komentarnya sopan. Terima kasih. :)

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!