Pages - Menu

Selasa, 01 Desember 2015

Jangan Khawatir bila Balitanya Belum Pintar Calistung



"Anakku baru Paud saja sudah pinter membaca," ungkap seorang ibu di sela-sela menunggu daging ayamnya dipotong, bangga.

"Haduh...kalau anakku sekolah saja dia gak mau. Pusing saya, mbak." balas ibu pedagang ayam jengkel.

Saya yang ikut ngantri beli daging ayam, hanya diam. Ikut menyimak.

"Kalau anak semasa Paud atau TK sudah pinter membaca kan, nanti pas dia masuk SD sudah siap," timpal ibu berjilbab coklat itu meyakinkan.

"Anak cowokku itu bikin tobat ayahnya. Padahal dia udah kelas satu, tapi belum bisa membaca. Lha gimana, orang dia males masuk sekolah," jelas ibu pedagang ayam itu sembari menyerahkan sebungkus plastik berisi daging ayam yang sudah dipotong.

Setelah membayar, ibu muda itu pun beringsut pergi. "Belum bisa membaca nggak pa-pa kok, mbak." Timpal saya kemudian setelah memastikan si ibu itu menjauh. Saya sengaja tidak ikut nimbrung karena saya tidak kenal dengan si ibu berkulit putih itu. Nanti ndak dikira saya menggurui.

"Anak yang belum bisa membaca itu bukan berarti dia tidak pintar lho mbak. Malah terkadang justru anak seperti itu tingkat kreativitasnya lebih tinggi ketimbang mereka yang sudah pintar membaca. Tinggal bagaimana orangtua memahami kemampuan si anak. Dengan dukungan yang bagus dari orangtua, insyaAllah anak akan lebih maju," tukas saya panjang lebar.

Memang ya, banyak ortu menilai kepintaran anak hanya dilihat dari kemampuan calistungnya (baca, tulis, hitung). Baru umur 5 tahun, anaknya belum bisa membaca saja sudah paniknya luar biasa. Khawatir kalau nanti anaknya akan ketinggalan saat duduk di bangku sekolah dasar.

Tak jarang, ortu menyebut anaknya bodoh hanya karena si anak yang sudah duduk di bangku sekolah dasar, tetapi belum jua bisa membaca. Sepupu saya misalnya. Banyak orang menyebutnya bodoh, termasuk orang tuanya, karena dia yang (saat itu) sudah kelas 4 SD belum lancar membaca. Padahal kalau coba menilik lebih dalam, dia ini jiwa seninya lumayan lho. Saya pernah lihat dia ngecat dinding rumahnya, hasilnya bagus. Perpaduan warnanya, meski agak ngejreng, sudah lumayan untuk anak seusianya (14 tahun). Dan dia mengecat dinding dengan corak yang berbeda, walaupun menurut orang dewasa mungkin akan dinilai aneh.

Dia juga pintar ngutak-ngatik barang untuk diperbaiki. Dan mungkin ada banyak keunggulan lainnya yang luput dari perhatian saya.

Beberapa waktu lalu saya ngeshare artikel dari Republika Online yang menjelaskan betapa anak yang terlalu cepat belajar calistung itu akan merusak tatanan otak kanannya. Dilansir dari nationalgeographic, belahan otak bagian kanan bertanggung jawab atas kemampuan spesial; meliputi pengenalan wajah dan pengolahan musik. Otak bagian kanan juga melalukan beberapa fungsi matematika, tapi hanya perkiraan kasar dan perbandingan. Bagian ini juga membantu kita memahami citra visual dan apa yang kita lihat. Dalam hal bahasa, bagian ini membantu kita menafsirkan konteks dan nada seseorang ketika berbicara. Mengutip dari parenting.co.id, otak kanan juga mengurusi hal-hal yang bersifat spontan, impulsif, dan emosional.

Bahkan menurut Sudjarwo, Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Ditjen PNFI Kemendiknas tahun 2010, seperti dikutip Republika online, memberikan pelajaran calistung pada anak dapat menghambat pertumbuhan kecerdasan mental. Anak akan tumbuh menjadi pemberontak atau biasa disebut mental hectic.

Saya ingat ketika itu saya baru duduk di kelas, entah satu atau dua, Om saya mencoba mengadu kemampuan berhitung saya dengan sepupu yang sebaya. Sepupu saya sangat cepat sekali menjawab soal pertambahan, perkalian atau pembagian. Dia terlihat pintar sekali. Sedang saya? Saya saat itu justru terlihat seperti anak dungu yang tidak bisa menjawab satupun.

Dan tanpa mereka sadari, itulah awal saya menjadi tidak percaya diri dengan kemampuan saya. Saya bahkan seperti trauma dengan pelajaran Matematika. Setiap kali saya diajari Matematika, saya selalu menghindar.

Beruntung saat SMP dan SMA saya sekolah di sekolah berasrama. Disanalah kepercayaan diri saya mulai tumbuh. Bahwa saya bukan murid bodoh, seperti yang banyak dikatakan orang. Saya juga mulai menyukai pelajaran Matematika. Bahkan sangat mencintai pelajaran Matematika saat di bangku SMA.

Inilah mengapa saya selalu bilang ke suami saya, "Jangan harap anak kita nanti akan terlihat 'pintar' seperti mereka. Mungkin dia baru akan kelihatan saat sudah duduk di bangku SMP, SMA atau mungkin saat kuliah."

Ya, anak saya memang unggul dalam bersosialisasi. Dia mampu merekam pesan bundanya. Dia bisa menepati janjinya ketika dia sudah setuju dengan janji yang dibuat dengan bundanya. Nilai kedisiplinannya bagus. Ketika bermain dengan temannya, dia selalu bertindak sebagai inspirator. Kontrol emosi juga baik. Kepercayaandiri bagus. Ketanggapan sangat tinggi. Dia juga tak segan membantu ketika dimintai bantuan, asal bantuan itu yang membuat dia bisa bergerak kesana kemari. Empatinya juga bagus. Walau semua keunggulannya itu tak akan berlaku saat dia ngantuk atau baru bangun tidur. Hehe.

Tapi dia ini tipikal anak yang tidak mau didikte, tidak suka digurui. Contoh saja saat dia belajar naik sepeda roda empat. Stang sepedanya kebalik. Saya berusaha mengembalikan posisi stang yang benar. Apa coba reaksinya?

"Enggak ya, bun. Yang benar itu yang seperti ini." timpalnya seraya membalikkan stang sepeda. Dia nekat menaiki sepeda dengan posisi stang kebalik. Olala.

Pun halnya ketika ia belajar mewarnai.  Awalnya dia bisa mewarnai pas di kotaknya, walaupun hasilnya gak beraturan (maklum, anak saya belum genap 3 tahun :D). Tapi setelah bundanya memujinya dan memintanya mewarnai lagi. Masya Allah, begitu saya tengok hasilnya, dia malah mencorat-coret seluruh halaman bukunya. Gak karuan bentuknya.

"Kayak gini kan, bun?" tanyanya polos. Gleg. Nelen ludah.

Tapi saya masih bersyukur karena dia sangat senang dengan alqur'an. Dia akan dengan suka cita membuka alqur'annya, membaca (menghafal tepatnya) surat alfatihah, walaupun hasilnya masih kebalik-balik :D. Dia juga suka kalau belajar iqro'. Meskipun bagian yang gak ada hurufnya, dia nekat nanyain. "Kalau yang ini apa, bun?" tanyanya sambil nunjuk gak berdosa. Hahaha.

Saya harap tulisan saya ini bisa jadi telaah bagi para orang tua. Bagaimanapun, setiap anak itu dianugrahi kemampuan masing-masing. Dan jangan mencoba membandingkan, karena setiap anak punya kemampuan yang berbeda-beda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf komentarnya saya moderasi. Hanya untuk memastikan ada komentar dan komentarnya sopan. Terima kasih. :)