Pages - Menu

Jumat, 03 Juni 2016

Karena Bahagia itu Sederhana, Nak!




Sebagai orangtua, kami memang tidak memanjakan anak-anak dengan beragam mainan. Mungkin mainan mereka bisa dihitung dengan jari, itupun lebih banyak karena diberi kerabat. Ketika banyak orangtua selalu memuluskan keinginan anaknya, kami tidak begitu. Bahkan terkadang malah kelewat tega jika dibandingkan orangtua pada umumnya.

Anak-anak saya juga tidak mengenakan baju-baju branded. Harga baju mereka bahkan tidak lebih dari Rp. 40 ribu. Baju adiknya malah ada yang seharga Rp. 9 ribu. Mereka juga sering dapat baju lungsuran, pemberian saudara yang sudah tidak muat lagi.

Kami memang bukan orangtua dari golongan menengah ke atas. Kami juga tipikal ortu yang sangat perhitungan (baca: pelit :D), terutama untuk membelikan baju-baju mahal bila mempertimbangkan tubuh mereka yang tumbuh dengan cepat. Kami juga jarang sekali membelikan beragam mainan, sedang mereka sendiri cenderung cepat bosan, bahkan malah nyari barang-barang lain untuk dijadikan mainan sendiri.

Dan jujur saya katakan, sampai detik ini, anak-anak saya belum pernah sekalipun naik komedi putar, kereta kelinci dan sebagainya. Padahal dulu sebelum adiknya lahir, saya sering mengajak si kakak jalan-jalan ke alun-alun kota. Di sana kami hanya jadi penonton doang. Kadang dia berlarian kesana kemari atau naik tangga untuk pijakan ke panggung. Setiap hari kereta kelinci juga selalu lewat di depan rumah. Hanya bayar 2 ribu saja, sungguh teganya sampai anak saya belum pernah naik. Hahaha.

Mungkin kami sesekali mampu jika hanya mengajak anak-anak main pancing-pancingan, naik kereta kelinci atau komedi putar yang masing-masing hanya bayar Rp. 5 ribu. Tapi bukan ini sesungguhnya yang ingin saya sampaikan kepada mereka. 

Bahagia itu Sederhana, Oleh-oleh Istimewa Masa Kecil


Masa kecil saya adalah masa penuh petualangan. Setiap pagi saya bermain ke pinggir sungai, mencari macam-macam belalang untuk dipindahkan ke taman buatan di benggangan rumah (letaknya di tengah sebagai penghubung antara rumah satu dengan lainnya, tanpa ada atap). Sepulang sekolah saya ikut dengan teman-teman menggembalakan kambing peliharaan orangtua mereka ke sawah, dekat jembatan, atau ke kuburan. Kami bercerita seru, bermain bekejar-kejaran, hingga bernyanyi bersama.

Bersama merekalah saya tahu bahwa bahagia itu sederhana sekali. Saya ingat bagaimana teman kecil saya rela beradu maut demi menyelamatkan saya. Kambing jantan itu tiba-tiba ngamuk saat saya menaboknya keras karena ngambek tak mau jalan. Saya yang menunggangi punggungnya harus memeluk lehernya erat karena dia lari kencang sekali. Sementara teman-teman saya mengejar di belakang.

Saat sampai jalanan yang di pinggir kanannya ada jurang, satu teman kecil saya nekat melompat cepat, meraih tali kambing itu. Untuk menghentikan lajunya, dia harus terseret beberapa meter di jalanan yang berkerikil. Alhamdulillah, kambing berhenti. Saya selamat. Tapi dua tangan teman kecil saya lecet disana-sini. 

Jika melihat perjuangan mereka menyelamatkan saya, patut diacungi jempol bukan? Itulah salah satu didikan hidup dalam kesederhanaan, melahirkan sikap tolong menolong dan rasa empati yang luar biasa. Bukan sekali ini salah seorang dari mereka menyelamatkan nyawa saya. Saya pernah dua kali hampir tenggelam karena tidak bisa berenang, tapi tangan mereka sontak langsung menarik saya saat tahu saya terseret derasnya arus air saluran irigasi.

Masa kecil saya juga saya lewati dengan ikut membantu orang-orang yang mecahin batu kali ukuran kecil, nyari udang atau kerang di sungai, nyari bekicot di kebun-kebun tetangga, nyari barang rongsokan dengan menyisir lubang-lubang sampah, bantu teman nyari dedaunan untuk bungkus tempe unel, bahkan ikut nyari kayu bakar di tegalan. Saya melakukan itu hanya untuk bermain-main, sedang mereka untuk membantu orangtua. 

Tapi bersama mereka, saya belajar bagaimana rasanya mendapatkan uang dari jerih payah sendiri. Bahagia rasanya saya bisa mendapat uang dari jualan bekicot atau barang rongsokan, meski risikonya jemari saya harus disengat tawon. Hihihi.

Tentu, saya jelas tidak akan tega membiarkan mereka melewati seperti apa yang pernah saya lalui dulu. Tapi pelajaran 'bahagia itu sederhana' akan terus saya tanamkan pada mereka.

Sebagai ibu, bohong jika saya sampai setega itu pada anak. Naluri saya selayaknya ibu pada umumnya tetaplah ada. Saya juga ingin sesekali mengajak anak-anak naik kereta kelinci seperti anak-anak lainnya, meski mereka tidak meminta. Saya juga ingin membelikan beragam mainan seperti ibu-ibu lainnya. Ya, namanya juga ibu.


Tapi, sungguh saya dibuat takjub dengan anak saya yang pertama--karena adiknya baru sembilan bulan. Dia tidak pernah menuntut dibelikan mainan ini dan itu. Kalau sekarang (usianya sudah 3y5m) paling dia hanya minta dibelikan mainan yang sangat dia ingini seperti punya temannya. Itupun hanya satu mainan saja yang diminta. Dia percaya betul jika orangtuanya mengatakan setuju untuk membelikan, maka dia bisa mengerti andaikan tidak dibelikan sekarang. Mungkin bisa besok, lusa atau hari berikutnya lagi jika ada waktu sela.

Baca juga : Jadilah Ortu yang Jujur dan Amanah, Ayah Bunda...

Saat ke toko mainan, dia memang tak ubahnya seperti anak-anak lainnya, ingin dibelikan ini dan itu. Tapi dia tidak akan tantrum atau ngamuk saat bundanya tidak membelikan mainan itu. Dia akan sangat bahagia ketika barang yang diminta dibelikan.

Anak saya juga akan sangat bahagia meski hanya dibelikan baju seharga Rp. 18 ribu. Bahkan hanya diberi baju bekas pun dia sumringah. Setiap dia punya sesuatu yang baru (entah baru betulan atau baru dipakai) dia akan laporan kepada setiap orang yang dikenalnya. 

Dia diberi sepeda bekas yang bahkan sudah agak karatan saja sudah senang sekali. Saya jadi terpana ketika dia begitu percaya diri bermain dengan sepeda bekasnya ke rumah temannya, padahal sepeda temannya bagus sekali. Dia sama sekali tidak menuntut dibelikan sepeda seperti punya temannya. Karena pedalnya agak susah dikayuh, saya memang berniat membelikan sepeda baru untuknya, hasil dari uang jualan barang hadiah lomba. Entah kapan, seselanya, tapi dia bisa pengertian karena percaya bundanya insyaAllah akan membelikannya. Paling dia hanya terus bertanya, "Kapan aku dibelikan sepeda keranjang, Bunda?" sampai bikin kuping saya gatel karena dia terus bertanya. Hahaha.

Saat ada kereta kelinci lewat di depan rumah, dia akan lari keluar. Dengan tawanya yang lebar dia berseru kepada bundanya, "Bun, ada kereta kelinci!" 

Sesekali dia akan menggoda, "Aku naik itu ya, Bunda."

"Nggak. Naik itu rasanya kayak naik mobil omprengannya ayah kok. Ketimbang naik itu mending uangnya ditabung," tandas saya.

Dia manyun tak serius, sedetik kemudian dia ketawa lagi. Dan beginilah reaksinya saat ada eskrim seharga 2 ribu lewat dengan jingle khasnya. Karena lebih sering nggak dibelikan, dia hanya ngibrit keluar sembari ikutan nyanyi, "Es krim, es krim, dua ribu. Rasa strawberry, rasah mbayar..." Hahaha.

Apa dia terbebani dengan 'kepelitan' kami ini? Alhamdulillah nggak, Bun. Ini betulan lho ya. Bukan anggapan saya pribadi. 

Dia tahu betul jika ayah bunda menyayanginya. Pun saat keinginannya tidak semua dimuluskan. Pelajaran bahwa menunjukkan kasih sayang tidak melulu dengan membelikan hadiah, alhamdulillah bisa tertanam dengan baik. Jadi baginya dia tidak akan tantrum sekalipun makanan atau barang yang diminta tidak dibelikan. Agar dia paham, saya akan berusaha memberitahu alasan kenapa saya tidak membelikan makanan atau barang tersebut.

"Karena bahagia itu sederhana, Nak!" Inilah yang ingin saya tunjukkan kepada mereka. Kebahagiaan tak terbatas karena naik kereta kelinci atau komedi putar. Kebahagiaan tak harus dengan punya banyak mainan. Kebahagiaan tak melulu dengan membelikan yang baru atau bahkan yang mahal.

Ya, karena ia begitu sederhana sekali. Tergantung bagaimana kita mensyukuri hidup ini. Semoga nilai-nilai ini bisa ternanam di hati mereka, dan makin tumbuh subur hingga berbuah di kemudian hari. Amiin.

7 komentar:

  1. InsyaAllah dia akan ingat ini. Saya juga bahagia saat tidak dibelikan boneka, tidak dituruti semua hal, meskipun saya ngambek. Kalau semua-mua keinginan saya dituruti apa jadinya ya saya hari ini, bisa jadi susah hidup susah, hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi...iya, mbak. karena sayang itu tidak melulu harus dituruti :)

      Hapus
  2. selain orang tua pengaruh lingkungan juga sangat besar mbak... anak saya waktu belum sekolah, masih bisa di kasi tau dan disuruh tunggu jika ingin sesuatu, namun ketika mulai sekolah kadang manyun nya itu loh bikin menghela nafas...hahahaha tapi yang namanya orang tua ya...asal masih sanggup kadang saya turuti juga sesuai kemampuan juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul tuh, mbak. Lingkungan pengaruhnya luar biasa. Kalau masih kecil, insyaAllah bisa kita jaga, tapi kalau pas mereka sekolah? Saya juga nggak tahu apa anak saya akan tetap begini atau berubah. Yang penting sekarang, saya berusaha mematangkan karakternya agar ia bisa teguh saat sudah sekolah nanti. :)

      Hapus
  3. hebaat ;). aku salut bacanya ;).. aku dibanding suami, sbnrnya lbh tegas aku mendidik anak soal hal2 begini mba.. ngerayain ultah aja aku ga prnh setuju, beli mainan aku jg kurang suka, mendingan dia beli buku drpd mainan.. tapi papinya di rumah agak ga tegaan .. so kadang anakku lari ke papinya kalo utk urusan jajan dan yg begini2 -__-.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi, itulah yang terkadang jadi kendalanya mbak. Ketika ayah atau ibunya tidak bisa konsisten dalam mengasuh anak. Maka memang perlu kesepakatan bersama yang harus dipegang oleh ayah ibu atau orang-orang yang tinggal disana. Ya, memang untuk menyamakan aturan itu praktiknya susah kebangetan. :D

      Hapus

Mohon maaf komentarnya saya moderasi. Hanya untuk memastikan ada komentar dan komentarnya sopan. Terima kasih. :)