Minggu, 23 Juli 2017




Ini sudah ketiga kalinya aku melewati gang yang sama saat pertama kali belok dari Jalan Raya tadi. Motor matic warna putih yang kutunggangi melaju lambat. Kornea mataku mengitar kanan kiri, menyisir kembali rumah demi rumah yang dilalui. Hasilnya? Tetap saja nihil. 

Motor Vario itu terpaksa berhenti. Tepat di depan mushola tanpa halaman yang masih sepi. Tatapan penasaran beberapa orang yang duduk santai di emper rumah saat sore hari membuatku enggan untuk melanjutkan pencarian. 

Kutarik slayer motif batik itu hingga di bawah hidung. Ingatanku mencoba berkelana saat aku berangkat bersama suamiku--yang menaiki motornya sendiri--pagi tadi. Aku mendengus sebal. Jangankan rute jalan yang dilewati, bagaimana ciri rumahnya saja aku bahkan tak bisa mengingatnya. Ugh, payah!

Tanpa turun dari motor, tanganku merogoh smartphone dari saku jaket LDK yang kubiarkan resletingnya terbuka. Belum kugeser layarnya, sontak aku mendesis kesal. Apa-apaan ini? Istri mana yang nomor suaminya sampai tak ada di kontak hpnya? 

Beuh... Aku membuang napas frustasi. Kubenamkan wajah ovalku ke spidometer motor. Pasrah.

***

"Yakin? Nggak diantar ke kampus, Dek?" tanya suamiku saat motor kami  berhenti setelah keluar dari gang masuk kampung pagi tadi. Hanya sekadar memastikan lagi.

Aku menoleh ke arahnya. "Enggak usah, Mas. Aku udah biasa motoran sendiri kok. Mas nggak perlu khawatir," jawabku dengan senyum terkulum, meyakinkannya lagi. Aku tahu, ia mungkin khawatir jika aku sampai tersesat jalan. Tapi aku paham, ia juga punya kesibukan sendiri. Lagipula, toh arah kampus kami memang berlainan, tidak sejalur. 

Ya, kami baru saja menikah hari kemarin. Pernikahan yang kilat dengan proses se-ekspres mungkin. 

Seminggu lalu aku dibuat terhenyak saat Ustadz Burhan menelponku. Kata beliau, ada seseorang yang ingin ta'aruf denganku. Hari itu juga.

Aku kontan kelabakan. Usai jam mata kuliah jurnalisitik selesai, kugeber motor matic itu ke rumah ustadz Burhan di Solo Baru. Dari kampusku di Kentingan, hanya butuh waktu 20 menit untuk sampai ke sana.

Tanpa sempat membasuh muka atau sekadar membenahi jilbab, aku bertemu dengan lelaki itu. Aku tak peduli bagaimana penampilanku. Mungkin kulit langsatku diluluri debu dan asap kendaraan.

Pandanganku masih tertunduk. Jantungku berdetak tak karuan. Kaki dan jemari tanganku sedikit gemetar. Napasku seakan tertahan.

"Lihatlah dia, Azalea. Jangan menunduk terus. Saat begini, kamu boleh melihat calonnya," ucap Ustadz Burhan yang duduk di sebelah lelaki itu memecah kebekuan.

Aku menarik napas dalam. Kuberanikan untuk memandang lelaki yang duduk di sofa, tepat di depanku. Tatapan kami seketika bertemu. Seutas senyum tersungging dari sudut bibirnya. Aku balas dengan senyum malu-malu, lalu kembali menunduk agar rasa nervous itu tidak berlarut-larut menjalar di sekujur tubuh semampaiku. Entah mengapa, hanya sekali pandang hatiku langsung melumer. Mungkin warnanya sudah berubah menjadi merah jambu.

Aku tidak mengenal lelaki berjenggot tipis itu. Kata Ustadz Burhan, ia tahu saat melihatku muncul di televisi dakwah sebagai reporter yang mewawancarai jama'ah pengajian Ahad Pagi. Itulah kali pertama aku ditugaskan di sana setelah sebulan sebelumnya menjalani masa training. 

Namanya Wafi Alfiras. Dosen muda di Fakultas Ekonomi sebuah universitas Islam di Solo. Umurnya baru 27 tahun. Dari perawakannya, ia terlihat lebih muda dibanding usia aslinya. Kulitnya putih bersih, potongan rambut cepak dengan belah samping dan kemeja lengan pendek warna biru tosca dipadu dengan celana bahan warna hitam membuatnya sepintas seperti anak kuliahan.

Aku hanya diberi waktu empat hari untuk mempertimbangkan ta'arufnya. Ia memberiku segepok proposal berisi profil pribadi beserta visi misi saat menikah nanti. Sejak awal, hatiku sudah condong dengannya, apalagi setelah istiharah, keyakinan itu makin bertambah. Ya, aku memilihnya.

Dua hari kemudian ia beserta keluarganya dari Purwakarta melamarku. Dan secara mengejutkan, ayahku langsung menikahkan kami hari itu juga begitu tahu saksi dari pihak calon suami maupun istri sudah lengkap dan mahar juga sudah siap. Ayahku memang tegas soal ini, beliau tidak mau menunda-nunda untuk segera menghalalkan.

Karena kami sama-sama ada ujian semester esok hari, ba'da Isya ia langsung memboyongku menaiki maticku dari Sragen menuju rumahnya di Kartosura. Rencananya kami baru mendaftarkan pernikahan dua hari kemudian setelah sama-sama tidak ada jadwal ujian. 

"Dek..." Lelaki dengan motor Vixion warna merah itu membuyarkan lamunanku. "Semoga lancar ujiannya ya," katanya mengulang seperti yang sudah ia katakan di rumah tadi. 

Aku tersenyum, lalu mengangguk. "Semoga Mas juga," ucapku kepadanya. Ya, meskipun ia tidak ikut ujian, hanya sebagai dosen yang menjaga ujian.



Jalan dari arah barat tampak lengang.  Aku segera menaikkan gas motor setelah sebelumnya mengucap salam kepada suamiku. Matic kesayanganku lantas melenggang ke arah timur. Dari balik kaca spion, kulihat ia belum beranjak juga. Ia masih mengamatiku, seakan berat membiarkanku berangkat sendiri. 

***

Aku membuang napas melalui mulutku hingga memperlihatkan bibir tipisku agak maju ke depan. Kubenahi posisi dudukku agar tidak terasa pegal karena terlalu lama duduk. Kusandarkan tubuh kuyu itu ke dinding tembok teras mushola. Sesekali kulirik smartphone di tanganku. Belum juga ada balasan. Aku hanya bisa meninggalkan inbox di akun Facebook suamiku yang sudah meng-add friend seminggu yang lalu. 

Aku mendesah pelan. Sudah sejam aku duduk di sini. Mungkin tiga perempat jam lagi, mushola ini akan ramai dijejali jama'ah yang hendak menunaikan shalat Maghrib. 

Sepasang kaki dengan celana bahan warna hitam berdiri di sampingku. Aku perlahan mendongak, menelusuri tubuh tingginya hingga sampai ke wajah. Aku terpana. Iris mata meneduhkan itu masih menyiratkan segumul kekhawatiran di sana. Ada kelegaan dari gurat senyumnya. 

Ia duduk di sampingku. Tangan kokohnya meraih tanganku lembut. Digenggamnya jemariku erat. "Maaf ya, Dek. Aku seharusnya tidak membiarkanmu berangkat sendiri tadi pagi."

Aku masih mematung dengan perlakuan romantisnya. Senyumnya merekah. "Seharusnya kalimat pertama yang kutanyakan padamu selepas halal adalah menanyakan nomor hpmu, Dek Azalea."

Apa dia sedang mencoba becanda? Ah, benar. Momen romantis itu seketika buyar ketika kulihat lelaki di sampingku ini tengah menahan tawanya.

-selesai-

*cerpen ini dimuat di Majalah Al-Mar'ah edisi Juni 2017. Rubrik cerpen majalah ini cocok buat penulis pemula. Silahkan kirimkan cerpen bertema Islami. Panjang naskah sekitar 800 - 1000 kata. Kirimkan ke email muslimahmta@yahoo.com atau almarahsholihah@gmail.com. Jangan lupa sertakan nomor hp agar jika dimuat dapat kabar. 

*cerpen terinspirasi dari kisah saya sendiri : Uniknya Menikah Tanpa Pacaran
Categories:

4 komentar:

Mohon maaf komentarnya saya moderasi. Hanya untuk memastikan ada komentar dan komentarnya sopan. Terima kasih. :)

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!