Minggu, 30 April 2017




Beberapa bulan lalu saya baca sebuah artikel. Disana dikisahkan ada seorang wanita muda yang baru beberapa bulan menikah, dia menangis saat bertanya di salah satu kajian. Dia merasa bahwa kehidupan pernikahannya justru membuatnya tidak bisa maju. Setelah menikah, dia hanya berada di rumah sebagai ibu rumah tangga. Sehari-hari dia dihadapkan dengan tetek bengek urusan rumah tangga: masak, mencuci, nyetrika, nyapu, ngepel dsb. Aktifitas kesehariannya hanya muter di seputaran itu. Inilah mengapa dia merasa kehidupan pernikahannya seolah mengekangnya.

Kisah si mbak ini mengingatkan saya pada salah seorang teman. Di tiga bulan pernikahannya, dia juga merasa jenuh karena hanya berdiam diri di rumah. Sampai waktu itu, dia nekat pergi ke tempat kerjanya dulu lalu mampir ke kosan kami (waktu itu saya belum menikah) untuk mengusir penat. Dia baru ijin kepada suaminya setelah sampai ke kosan kami dengan meminjam HP saya--karena dia setelah menikah tidak lagi pegang HP.

Karena tidak ijin, suaminya jelas marah. Sampai saya nggak sengaja menyaksikan 'genderang perang' sepasang pengantin baru ini hingga sang suami menanyakan perpisahan. Kontan saja saya terkaget. Saya sendiri sebelumnya juga tidak tahu jika dia belum ijin ke suaminya. Karena sadar, ada orang lain yang tanpa sengaja tahu, sang suami lantas menerangkan bahwa hubungan mereka baik-baik saja. Dia bahkan sampai menjelaskan bahwa dia sangat mencintai istrinya. Dia juga meminta saya untuk menasehatinya karena, katanya, istrinya sangat sulit dinasehati.

Walau si teman tadi belum ijin, entah mengapa saya sedikit memaklumi. Terlepas, keluar rumah tanpa ijin suami tentu tidak dibenarkan. Kenapa saya memaklumi? Pertama, karena si teman tadi masih tergolong baru ikut kajian di tempat saya mengaji. Dia pun kenal kajian tersebut karena naksir dengan seseorang yang kini jadi suaminya. Saya juga mengenal teman ini sehari-harinya baik. Dia bisa dididik dan dinasehati secara halus andai suaminya mau bersabar menghadapi istri pilihannya. 

Kedua, soal dia yang merasa jenuh di rumah, siapa yang nggak jenuh jika hanya berdiam diri di rumah? Kegiatannya hanya soal tugas rumah tangga. Tanpa boleh kemana-mana. Dan tanpa HP. Perlu dicatat, setelah dia menikah, dia tak lagi pegang HP. Entah suaminya yang tidak membolehkan atau karena apa. Yang jelas, saat menghubungi saya, dia selalu pakai nomor suaminya. Ketika kita ketemu di kajian Ahad, jika janjian dengan suaminya (ditunggu dimana setelah kajian selesai), dia akan pinjam HP saya jika berpapasan dengan saya.

Sejujurnya, saya gatel untuk menegur sikap suaminya ini. Sejauh saya mengenal si teman tadi--walau beberapa bulan--tapi dia bukan orang yang ngeyel untuk dinasehati. Bukankah, harusnya dia bisa sabar menghadapi istrinya? Karena memilih istri yang sebelumnya belum berjilbab (lalu berjilbab kemudian ikut kajian) itu bukan perkara mudah. 



Karena si suami dalam mode marah, saya hanya berusaha mencairkan ketegangan diantara mereka. Saya sebetulnya nggak terlalu kenal dengan suaminya ini. Hanya sebatas tahu. Tapi tetap nekat bilang, "Santai aja, Bro!" Entah berapa kali saya mengulang kalimat itu, sembari menyisipkan nasehat untuk menghadapi masalah dengan kepala dingin dan memintanya memahami istrinya.

Terus terang, saya salut dengan suami yang meminta istrinya untuk berada di rumah, fokus mengurus keluarga. Tapi saya jauh lebih salut lagi dengan suami yang mendukung istrinya untuk terus produktif meski berada di rumah. 

Berada di rumah, jarang kemana-mana dengan rutinitas yang itu-itu saja bukan soal yang mudah dijalani. Apalagi bagi mereka yang sebelumnya aktif di luar rumah itu bukan hal yang gampang dilakoni. Entah berapa orang yang mengeluh bosan di rumah kepada saya. Lebih-lebih jika dia juga disibukkan dengan mengurus bocil-bocil super aktif. Selain merasa jenuh, mungkin dia juga merasa lelah. 

Terus produktif tak harus yang menghasilkan uang. Suami kudu jeli dengan passion istri. Setelah tahu apa minat istri, dukung dia, berilah ruang waktu kepadanya, fasilitasi, syukur-syukur carikan pasar jika minatnya adalah berdagang. 

Saya suka sekali dengan nasehat seorang suami dari salah satu teman saya, "Kamu merintis karir di rumah saja ya." Suami yang model begini itu suit kebangetan lho. 😄

Atau hanya sekadar membiarkan istri melakukan hobinya saja, itu sudah dalam bentuk mendukung istri untuk tetap produktif. Misalnya hobi dia membaca. Ya, berilah kelonggaran waktu untuk dirinya membaca. Pas suami tidak ada kegiatan, ambil alih sebentar untuk momong anak-anak lalu membiarkan istrinya merampungkan bacaannya biar pikirannya enteng. Sesekali mengajaknya ke toko buku atau pameran buku untuk membeli buku atau memberikan rak buku juga termasuk salah satu dukungan suami agar istri terus bisa produktif. 

Syukur-syukur apa yang diminati atau hobi istri itu bisa menghasilkan uang, tentu lebih baik lagi. Pun begitu, istri juga harus tetap tahu kondisi dan waktu. Jangan sampai keluarganya justru dinomorduakan, meski masih berada di rumah.

Bagaimanapun, istri tidak selamanya bergantung dengan suaminya. Suatu saat, entah kapan, maut akan memisahkan. Atau boleh jadi suami diuji sakit yang membuatnya tak lagi bisa menafkahi keluarga. Jika istri hanya berada di rumah, urusannya hanya seputar rumah tangga, mungkin dia akan sangat kesulitan ketika ia tiba-tiba harus mengambil alih untuk menopang ekonomi keluarga.

Saya sedih sekali ketika tak sedikit suami yang menganggap bahwa mengurus tetek bengek rumah tangga itu adalah kewajiban istri. Bahkan ada yang bilang, itu adalah kodratnya. Saya pernah menulis status berjudul Suami Ganteng Maksimal, sebutan saya untuk para suami yang mau membantu tugas rumah tangga istrinya. Waktu itu ada yang komen kira-kira begini, "Kenapa sih istri harus manja? Itu kan sudah kodratnya dia, kenapa dia harus mengeluh hingga minta bantuan suami?" 

Fix, suami model begini yang bisa membuat para istri mendadak horor sama suaminya. Saya nggak bisa bayangin kalo pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci baju, piring, nyapu, ngepel, nyetrika dsb dilakukannya seorang diri padahal dia juga sudah disibukkan dengan mengurus anak-anaknya yang aktif luar biasa, tanpa bantuan ART apalagi suami karena menganggap itu sudah kewajiban istri. Bisa keriting otaknya dia, Pak. Padahal otaknya udah keriting dari sononya, mau keriting yang kek gimana lagi? Mbundhel? 😂😂😂

Memberi kesempatan me time kepada istri juga salah satu bentuk dukungan suami agar istrinya tetap produktif. Dari me time, dia pasti akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Kayak saya yang bisa nulis status sepanjang ini, juga salah satu buah dari me time lho. Semoga mau dibaca sampai akhir ya. Etdah, panjang amir, Mak? 😄

*tulisan ini sudah saya lempar duluan ke media sosial :)
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf komentarnya saya moderasi. Hanya untuk memastikan ada komentar dan komentarnya sopan. Terima kasih. :)

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!