Sabtu, 24 Desember 2016

Inilah 15 kesalahan yang sering dilakukan orangtua pada anaknya :

1. Bohong


Entah sudah kali berapa ketika saya mendapati ibu-ibu yang menakuti anaknya dengan berbohong.

"Adik, jangan ke situ. Di situ ada tikus lho. Tuh, ada tikus!" Padahal nggak ada tikusnya.

Ketika jajan minta sesuatu. "Jangan beli yang itu. Itu makanan beracun." Padahal? Bakalan kena sidak kalau ada pedagang jual makanan yang mengandung racun.

Mungkin mikirnya anak sekecil itu belum paham seandainya kita terangkan pada mereka sejujurnya.
Padahal eh padahal, mereka anak yang pintar dan kritis lho, Bun. :)

2. Janji Palsu

Anak nangis minta dibeliin sepatu kayak punya temannya. "Iya. Besok ibu beliin kalau kita ke mall. Yang lebih bagus malah."

Pas ke mall, anak nagih, nggak dibeliin. Padahal janji tetaplah janji. Kan, janjinya kalau ke mall bakalan dibeliin sepatu yang lebih bagus dari temannya. Ayo, Nak, tagih terus janjinya! :p

Kalau memang tidak sanggup menepati, ya jangan menebar janji. Jangan dikira mereka nggak bisa kita ajak negosiasi. Bisa kok, Bun. Mungkin kitanya yang nggak sabaran menghadapi ketantruman mereka. Atau kita terlanjur melabeli mereka sebagai anak yang sulit diberi pengertian.


3. Labelling

Ini juga yang sering dilakukan para orangtua. Saat kita lelah, kita bisa saja nyeplos melabeli anak dengan sebutan buruk.

"Kamu tuh ngeyelan."

"Anak nakal!"

Bahkan...

"Bodoh..."

Ah... Jaga mulut, jaga mulut, jaga mulut. Plester mana plester?

4. Tidak menghargai yang dilakukan anak

Saat anak ingin mandi sendiri. "Biar ibu yang mandiin, nanti ndak bersih."

Saat anak ingin pakai baju sendiri. "Biar ibu yang pakaiin. Kamu nggak bisa."

Saat anak ingin makan sendiri. "Biar ibu yang suapin. Nanti lantai kotor."

Saat anak diam-diam sisiran sendiri, terus ditunjukin ke ibunya kalau dia bisa sisiran sendiri. "Apaan? Rambut masih awul-awulan gitu. Sini ibu sisiran lagi."

Dia butuh diberi kesempatan, Bun. Dia juga ingin dihargai. Dia sungguh menanti pujian dari orangtuanya. Dan betapa bahagianya jika kedua orangtuanya terus menyemangatinya. :)

5. Mengancam

Saat anak tidak patuh, orangtua biasa main ancam.

"Kak, cepat mandi!"

"Entar dulu." Masih asyik main gadget.

"Buruan mandi. Kalau enggak, mama bakalan buang HP-nya ke kloset. Kakak nggak bisa main HP lagi, gimana? Mau?" Gertaknya.

"Iya. Entar. Dua menit lagi."

"Mama hitung sampai lima. Lebih dari hitungan ke lima belum ke kamar mandi, mama bakalan buang HP-nya ke kloset. Satu, dua, tiga..." Sudah lebih dari hitungan kelima, anak belum beranjak. HP-nya beneran dibuang ke kloset? Eman-eman lah.  Tuh, kan? Pakai ngancem nggak tahunya malah bohong?

6. Nyalahin benda mati yang nggak tahu apa-apa

Anak jatuh ke lantai. Nangis. Ibunya sok ngintrogasi pelakunya. "Duh, sakit ya? Siapa yang nakalin? Ini ya?" Sambil nunjuk lantai, lalu sok main toyor ke lantai. "Uhh, nakal ya."

Anak kejedot tembok. Nangis. Lagi-lagi si tembok yang nggak tahu apa-apa kena timpuk tangan emaknya.

Ah, kenapa nggak ditonjok sekalian, Bun? Tonjok betulan ya, jangan akting. Biar greget.

Apaan letoy gitu? Kurang keras. Lagi! Lebih keras! :p

7. Baby talk

Ini yang ngajarin siapa, yang diajarin juga siapa. Kenyataannya kebalik kan? Ortu kalau ngajakin ngomong ke bayi kebanyakan pakai gaya bicara ala-ala bayi. Dicadel-cadelin. Dimonyong-monyongin. Terutama simbah nih. Herannya, ibunya yang suka nganggep aneh, lha kok keceplosan niru pakai logat baby talk juga.

Mungkin inilah awal mula bahasa alay muncul kali ya? :p

8. Bawaannya amnesia kalau ngeliling bayinya

"Ini ciapa cih?" Udah baby talk, masih nanya siapa ke anak yang dilahirinnya. Amnesia? :p

"Ciapa cih? Adek Cipa ya?" Udah tahu anaknya namanya Shifa, eee...lha kok dicipa-cipain. Pantas saja kalau besar nanti, dia nggak bangga punya nama Shifa. Maunya dipanggil Shivanili. Dan bawaannya suka 'amnesia' kalau pas jalan sama teman, nggak sengaja ketemu emaknya yang jualan cireng keliling.

9. Main tuduh

"Dek, sisir Mama kamu taruh dimana?" Sambil nyari ke meja rias. "Kamu sih, apa-apa buat mainan. Bedak Mama buat mainan. Deodoran. Lipstik. Apalagi?" Ngomelnya sudah kemana-mana.

"Hadehhh...dimana sih? Kamu taruh ke mana sih, Dek?" masih sambil nyari sisir. Padahal ada di kasur. Tadi mau sisiran, nggak jadi karena ada telepon. Yang naruh? Ya, emaknya. Dan anaknya yang jadi tersangka. Gini saja, suka gengsi kalau harus ngaku dirinya yang teledor naruh sisir. Apalagi minta maaf.

10. Biar anteng, dipegangin gadget, ditontonin tipi

Padahal gadget dan televisi sesungguhnya si perusak mental anak kalau tidak didampingi dan dibatasi. Misal sudah dipilihin acara yang mendidik dan aman untuk usianya atau gadgetnya pun aplikasinya memang adanya yang edukatif, kalau berlebihan kan nggak bagus. Kreativitas anak kurang, mungkin bisa speech delay (untuk anak usia batita), kontrol emosi rendah, bahkan jika sampai kecanduan.

11. Menanamkan belief yang salah

Pernah pas ada anak kecil, keponakan saya nangis karena tabrakan sama cucu seorang nenek. Si neneknya berusaha menenangkan dengan menakut-nakuti hal yang jadinya malah fatal.

"Udah diem. Nanti kalau nangis, puasanya batal lho." Duh, anak kan bisa memahami hal yang salah, kalau nangis bisa membatalkan puasa. Padahal kan enggak.

"Bener kan Mbak?" Tahu saya lewat, si nenek nyari orang buat meyakinkan apa yang dia bilang.

"Ohhh....enggak kok. Nangis nggak batalin puasa." Hahaha, batinnya mungkin sepet banget kali ya. Ada orang yang berani nyangkal, apalagi si nenek jadi mati kutu di depan cucu dan anak tetangganya.

12. Nggak sabaran ngadepin tangis anak

Tangis adalah cara anak kecil meluapkan emosinya saat keinginannya tidak terpenuhi. Tangis akan jadi senjata jika tiap apa yang dia mau, lalu nangis, langsung dituruti. Padahal kan enggak semua harus dituruti. Kalau toh dituruti, nggak harus hari ini juga. Maka penting sekali bagi orangtua untuk melatih si kecil mengontrol emosi, ajari anak menunggu dan berikan pengertian saat yang dia mau tidak (belum) bisa dituruti.



13. Overprotektif

"Dek, jangan main ke situ, nanti jatuh."

"Dek, jangan pegang itu nanti kotor."

"Awas, jangan mainan kayu nanti keculek (kena mata)."

"Dek, nanti kejedot. Dek, nanti kegunting. Dek, nanti kepleset. Dek..."

Ini salah, itu salah. Ini nggak boleh, itu juga nggak boleh. Batin anaknya, "Terus aku kudu piye?"

14. Nggak ngasih kesempatan anak untuk menyelesaikan masalah sendiri

Saat ada PR di sekolah, anak nggak bisa ngerjain, ibunya yang nyelesain. Sampai-sampai tiap ada PR, selalu ayah ibunya yang ngerjain. Buat orangtua, lebih baik PR betul semua, anak nggak dimarahin, ketimbang soal ada yang salah dan nanti kena ejek temannya.

Pas anaknya dicuekin saat main sama temannya saja sudah tersinggung. Langsung jemput anaknya. "Lain kali nggak usah main sama dia. Toh, kamu cuman dicuekin gitu." Dicuekin saja reaksinya begini, apalagi kalau kena bully?

15. Selalu merasa benar

Orangtua bisa saja salah atau keliru. Namanya juga manusia. Kalau tahu salah, biasanya dia masih bisa ngeles. Mikirnya masih anak-anak. Padahal kan anak-anak kan kritis-kritis. Hihihi.

Pinter nasihatin, tapi dilanggar sendiri. "Jangan nonton tipi, waktunya belajar." Mereka malah tetap nonton tipi tapi nyuruh anaknya belajar.

Pas anaknya pulang dari main di kebun langsung dimarahin habis-habisan. Saat tahu anaknya bawa sarang lebah, amarahnya makim menjadi-jadi. "Kayak gitu dibawa pulang, entar kamu disengat lebah gimana?"

"Lebahnya nggak ada kok, Pak. Ini enak. Coba bapak rasain."

Pas dirasain. "Oh, enak ternyata." (Ini nggak ngayal lho. Yang ngalamin yang nulis sendiri).

Inilah BunYah kece, kesalahan yang sering kita lakukan dalam mengasuh anak-anak kita ternyata luar biasa banyak. Kalau diterusin lagi mungkin udah kayak oloran kabel. So, BunYah, mari kita introspeksi. Terus belajar. Dan perbaiki diri. Semoga kita bisa menjadi orangtua yang mampu membentuk generasi shaleh/ah sehingga tidak timbul penyesalan di kemudian hari. Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Lakukan semaksimalnya, dan mulailah dari sekarang. :)

*tulisan ini sudah saya lempar duluan di facebook. Biar bisa dibaca setiap saat, saya posting juga disini. :)

Senin, 12 Desember 2016




"Siapa ini yang jual?" tanya saya pada seorang anak laki-laki bertubuh mungil, 8 tahun, yang duduk di kursi berwarna putih di sebelah meja untuk jualan bakso bakar, sore itu. Saya tanya begitu karena saya pikir ada ayah atau kakaknya yang jualan. Dia hanya sekadar menunggu, pikir saya.

"Aku." jawabnya sambil berdiri. 

"Oh, kamu yang bakar sendiri?"

"Iya. Mau beli berapa?" tanyanya sembari mengibas-ngibas kipas agar arang kembali memerah. 

"Beli 5 ribu ya."

"Iya. Tunggu sebentar ya. Duduk dulu disini." Tangan mungilnya sigap menggeser kursi putih yang tadi didudukinya untuk didekatkan kepada saya.

"Emang ayah kamu kemana?" tanya saya setelah duduk sembari memangku si kakak yang ikut serta. 

"Lagi istirahat di rumah." Ya, saya tahu, ayahnya ini seharian jualan bakso bakar keliling dari kampung ke kampung dengan motornya. Jika dagangan belum habis, mereka akan gelar lapak di pinggir jalan raya dekat rumah saya. Biasanya yang nunggu anak-anaknya. Dan yang paling rajin adalah anak laki-laki bertubuh mungil yang hingga sekarang saya belum tahu namanya. Ba'da Maghrib, ayahnya yang akan menggantikan.

Hari mulai gelap. Angin berhembus kencang. Tangan mungil itu dengan kekuatan prima terus mengipasi bakso bakar dengan kipas anyaman bambu ukuran besar. Sembari menunggu, ia menyiapkan bungkus dari kertas minyak yang sudah dibentuk mengerucut. 

"Kamu kelas berapa?" 

"Kelas tiga."

Bakso bakar sudah matang. Diangkatnya lima tusuk bakso bakar itu lalu dilumuri saos kacang tanpa saos cabe sesuai permintaan saya di awal. "Makasih ya." ucapnya mengulas senyum. 

Pas di rumah, bakso bakar hasil kipasannya lumayan juga. Untuk anak sekecil itu sudah luar biasa. Saya sedikit maklum meski ada satu tusuk yang agak gosong. Ada pula satu tusuk lain yang isi baksonya lepas satu. Mungkin pas dibolak-balik di tempat bakar tadi ada yang jatuh. 

***

Pernah terpikir? Ibu macam apa yang tega meninggalkan anak semandiri ini hanya karena cinta pertamanya hadir kembali dalam hidupnya? Bahkan, ada sembilan anak lain yang juga ditinggalkannya? Anak terkecilnya malah, ketika ditinggalkan, masih usia batita (sekarang usianya sekitar 5-6 tahun).

Yang saya tidak habis pikir, kesepuluh anaknya sangat mandiri sekali. Mereka semua akrab. Jika orang tidak mengenal mereka, mungkin akan dikira teman sepermainan karena selisih usia berdekatan.



Saat siang hari, sepulang sekolah, mereka akan menjemput neneknya yang berjualan di pasar. Menjemput bergantian. Kadang kakak perempuan yang sudah remaja. Kadang berdua dengan kakak laki-lakinya yang entah nomor berapa. 

Sore hari, kakak perempuan yang sudah SMP naik motor dengan membawa bronjong berisi barang dagangan bakso bakar untuk dijajakan di pinggir jalan raya Sragen - Ngawi. Mereka sering berjualan bertiga. Terkadang hanya salah satunya.

Pernah satu ketika karena langit terlihat mendung, ia dan kakak laki-lakinya (yang sepertinya hanya selisih 2 tahun), terpaksa mengemasi barang dagangannya. Saya yang hendak membeli bakso bakar hanya bisa menelan ludah saat melihat mereka berdua berjalan kaki membawa tas berisikan bakso bakar ke arah jalan kampung. Manik mata saya terus mengamati mereka. Terutama anak laki-laki mungil itu.

Saya terpana. Tangan mungilnya tampak keberatan menenteng tas anyaman warna biru muda itu. Sesekali ia letakkan di jalan, istirahat. Lalu ganti tangan kirinya. Kakak laki-lakinya yang tubuhnya tidak sekurus adiknya, sigap menenteng satu tas anyaman dan satu box ukuran sedang.

Ah...lagi-lagi saya tak kuasa membayangkan, ibu macam apa yang sampai hati meninggalkan mereka yang bagi saya, sangat luar biasa. Meski saya tak mengenalnya, saat berpapasan di jalan, mereka--siapapun diantara mereka--akan menyapa saya atau sekadar melayangkan senyum. Kata tetangganya, mereka ini juga nrimo sekali dengan keadaan mereka. Apapun yang dimasak neneknya tetap lezat bagi mereka. Mereka akan menyantap makanan bagaimanapun lauknya. 


Sudah beberapa bulan ini mereka tak lagi jualan bakso bakar di pinggir jalan raya. Mungkin pasarannya kurang bagus. Padahal saya hanya beli bakso bakar milik ayahnya yang terjamin kehalalannya. 

Karena kurang laku, ayahnya kini berjualan bakso kuah keliling. Dalam hati saya berdoa, semoga dagangannya laku. Semoga Allah memberi kelancaran rezeki bagi mereka. Rezeki yang berkah karena ia harus menghidupi kesepuluh anaknya.

Anak pertamanya sudah lulus SMA. Mungkin usianya kini sudah 20 tahun. Entah kerja atau kuliah, saya kurang tahu pasti.

Semua anaknya ikut ayahnya. Dulunya mereka tinggal di Sumatra. Setelah ibunya lari dengan laki-laki lain--yang katanya cinta pertamanya--mereka pulang ke rumah neneknya di Sragen, Jawa Tengah, dekat tempat tinggal saya.



Ah, cinta pertama. Betapa banyak orang yang mudah terlena saat cinta pertama--yang dulu tak jodoh, hadir kembali dalam hidupnya.

Seperti si A, yang selingkuh dengan cinta pertamanya dan menjalani hubungan tanpa ikatan pernikahan. Bahkan si B, yang rela mendedikasikan rahimnya untuk dihuni janin hasil perzinaan dengan cinta pertamanya yang sudah menikah dengan yang lain. Katanya, untuk kenang-kenangan dan buah hatinya sebagai bukti cinta diantara mereka. Na'udzubillah min dzalik. Betapa cinta membutakan mereka. Cinta atas dasar nafsu. Cinta yang disisipi rayuan-rayuan syaitan. Dan mereka pun terlena hingga berbuat kemaksiatan.

Inilah mengapa cinta dalam pernikahan itu seharusnya tumbuh, bukan jatuh. Jika jatuh, maka benih cinta boleh jadi jatuh di tempat sembarangan. Mungkin ia tidak bisa tumbuh dan menjadi benih yang mengering. Mungkin juga bisa tumbuh, tapi tumbuh di lahan yang tidak tepat. Tanpa dirawat. Tumbuh sesukanya. Semaunya. Tidak ada aturan, kapan ia disiram, kapan ia dipupuk dsb. 

Lain jika pernikahan yang dijalani karena mengharap ridha Allah. Benih cinta akan tumbuh subur seiring perjalanan waktu karena terus dirawat dengan tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Sekalipun awalnya tak saling mengenal (karena mereka bukan penganut pacaran sebelum menikah), tapi ini tak menjadi soal. Karena Allah akan tumbuhkan cinta dan kasih sayang diantara mereka sebagaimana firman Allah SWT yang artinya, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (QS. Ar-Ruum 21)


Tanpa banyak kata, saya doakan, semoga anak-anak ini tumbuh menjadi anak yang shaleh dan shalehah. Mereka bisa menjaga akhlak mereka. Tetap berjiwa qana'ah. Teguh memegang prinsip. Dan tercapai cita-cita mereka. Amiin.

Sabtu, 03 Desember 2016




"Haduh, Bu. Anakku itu udah kuliah, kalau pulang ke rumah, cuman nyuci baju saja nggak mau. Semua yang ngerjain ibunya. Dia itu malasnya luar biasa, sampai aku kalau di rumah bawaannya cuman marah-marah." Curhat seorang ibu suatu ketika. Bukan ke saya, ke ibu yang seumuran dengannya. Hihihi.

Mungkin semenjak kecil, anaknya ini selalu dimanjain kali ya. Anak nggak pernah dilibatkan dalam beberapa tugas rumah tangga. Semua dikerjain ibunya. Tiap kali anaknya ingin terlibat di dalamnya, dia hanya dianggap sebagai tukang ngerecokin. Mungkin ibunya marah-marah ketika anaknya ikut bantuin. "Sana...sana! Entar kotor lagi!" 

Sama halnya dengan seorang ibu yang mengeluh jika anaknya yang sudah kuliah juga tidak mau bantu pekerjaan rumah tangga. Seringnya 'ngumpet' di kamar. Online. 

"Padahal aku udah nyontohin lho. Kok dia ini nggak mikir sampai ke situ?"

Yang saya tahu, ibu ini hanya sekadar memberi contoh saja. Tiap anaknya pulang sebulan sekali, ibunya akan berusaha memberi contoh dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga seperti nyuci baju, nyetrika, nyapu, ngepel, bersihin kamar mandi dsb. Semua dikerjakan sendiri tanpa melibatkan anaknya. Dari dulu seperti ini. Mikirnya sih, untuk memberi contoh. Padahal contoh saja tidak akan efektif jika tidak melibatkan anaknya. Ibu ini semasa anaknya masih kecil juga termasuk ibu yang cerewet tiap kali anaknya ingin terlibat dalam pekerjaan rumah tangga. Karena mikirnya, masih anak-anak, bukannya bantuin malah ngacak-ngacak.

Padahal justru dari kecillah mereka belajar arti membantu tugas ibunya saat menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Sebagai ibu, saya selalu melibatkan anak-anak dalam beberapa pekerjaan yang ringan. Meski melibatkan, saya tetap tidak akan memaksa jika mereka tidak mau. Tapi alhamdulillah, mereka justru suka cita saat bersama-sama mengerjakan pekerjaan rumah seperti menjemur pakaian, melipat baju, menyapu, menata barang dagangan dsb.


Si kakak, 3 tahun 11 bulan, karena dia ini tipe anak yang senang bergerak, dia justru senang sekali jika dilibatkan, bahkan saat ayahnya mengangkat minuman kardusan pun dia nekat pingin bantuin. Hihihi. Sedang si adik, 15 bulan, saya sudah melatihnya minimal dia bisa mengerjakan keperluannya sendiri. Misalnya sehabis mandi, saya minta si adik ambilin bedak, minyak telon atau sisir. Saat ke pasar pun, saya minta dia ambilin gendongan (karena dia belum bisa jalan :D) dan juga jilbab bundanya. Dia sangat senang sekali dilibatkan. Setelahnya saya akan puji dia, saya peluk dan kasih hadiah kecupan sayang. 


Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Bunda ketika melibatkan si kecil dalam tugas rumah tangga.

1. Jangan memaksa


Ada anak penjual jajanan pasar, 5 tahun, dia sampai menangis karena ibunya terus memintanya mengangkat barang-barang dagangan. Peluh keringat menyembul memenuhi keningnya. Mungkin dia lelah. Mungkin juga dia belum sarapan. Orang-orang yang melihatnya merasa kasihan. Ketika ada yang mengingatkan agar anaknya istirahat dulu, ibunya malah marah. "Aku dulu juga digituin ibuku. Itu biasa," timpalnya sewot.

Kasihan kan kalau begini. Lagi pula, memaksa anak hanya akan membuatnya tertekan. Dia mau bantu hanya karena terpaksa, karena jika tidak dia akan kena marah. Akibatnya anak mau membantu bukan tumbuh dari hatinya. Saat besar nanti, bukan tidak mungkin dia akan jadi anak pemberontak karena terus disuruh ini itu oleh ibunya.

2. Tawarkan dulu apakah mau bantu atau tidak


Karena tidak memaksa, sebelum melibatkan, tawarkan dulu ke anak apakah dia mau bantu saat bundanya nyuci baju, ngelipat pakaian, memasak dsb. Misalnya saat saya hendak membuat cilok, camilan pesanan kakak. "Mau bantuin bunda nggak?" Kadang dia mau bantu, tapi kadang dia nggak mau karena mau main sama temannya. 


Dengan menawarkan terlebih dahulu akan melatih anak untuk mengungkapkan pilihannya. Anak juga akan merasa didengarkan keinginannya apakah dia mau bantu atau ingin bermain bersama teman-temannya. 


3. Buat aktivitas bantu-bantu jadi menyenangkan


Bagi anak saya, membantu bundanya mengerjakan tugas rumah tangga itu layaknya bermain seru. Saya berusaha menjadikannya semenyenangkan mungkin. Misalnya dengan membuat lelucon, sambil bernyanyi dsb. Biar seru kadang dibuat seperti estafet. Saat mengangkat barang dagangan yang ringan, adiknya ambilin barang (dengan intruksi dari saya), dilanjut bundanya, lalu kakaknya yang senang berjalan akan mengangkatnya ke etalase (natanya belakangan :D). 

4. Hargai usahanya


Ketika si kakak ikut bantuin jemur pakaian, meski nggak rapi tetap saya biarkan. Kecuali jika masih ada sela atau menumpuk baju yang dijemur, saya akan ingatkan jika sebaiknya yang sela diisi lagi dengan yang ditumpuk tadi.

Biar lipatan bajunya nggak rapi, saya tetap biarkan dan lebih memilih menghargai usahanya. Ini waktu kakak umur 3 tahun 2 bulan.
Saat dia mau bantuin ngelipat baju pun, saya tetap nggak nata lagi jika bentuknya sudah seperti lipatan. Toh yang dia lipat hanya baju atau celana adiknya atau dalamannya dia sendiri. Saya hanya perlu berdamai dengan hasil yang kurang rapi. :D


Dengan begini, dia merasa hasilnya dihargai bundanya. Jika memang hasilnya masih acak-acakan, baru saya perbaiki lagi sambil kasih tahu jika caranya yang benar begini tanpa mencerca usahanya. 


5. Ucapkan terima kasih dan beri pujian


Setelah dia bisa menyelesaikannya, saya akan ucapkan terima kasih karena sudah dibantu. Lalu saya puji dia.

"Wah, kakak pintar." puji saya ketika dia mau mengambilkan gula merah di tempat utinya (ceritanya minta gula merah karena lupa nggak beli di pasar :p)

"Kakak baik!" puji saya ketika dia dengan tanggap tanpa diminta saat tahu adiknya haus, dia sudah ambilin air minum di kulkas. 

Atau...

"Kakak hebat!" puji saya saat dia berhasil menata baju di lemarinya.

Setelah memujinya saya akan peluk dia sambil memberi sun sayang kepadanya. Hanya dapat pujian, pelukan dan sun sayang saja dia sudah bahagia sekali. Dia merasa dihargai usahanya. Dan merasa diandalkan.

Dengan sikap diatas, insyaAllah anak akan suka cita ketika dilibatkan dalam beberapa pekerjaan rumah tangga. Bahkan tanpa diminta pun dia sudah tanggap untuk membantu bundanya. Setidaknya bakat ngerecokin ala anak-anak bisa kita arahkan untuk membantu pekerjaan kita. Ya, meskipun hasilnya terkadang malah acak-acakan, tidak apa-apa. Kita hanya perlu berdamai saja dengan hasil yang kurang atau bahkan tidak sempurna. Semoga dengan melibatkan mereka dalam beberapa tugas rumah tangga sedari kecil akan menjadi kebiasaan saat mereka besar nanti. :)
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!