Pages - Menu

Selasa, 08 November 2016

Ketimbang Anak Jajan Sembarangan, Kenapa Tidak Buat Sendiri?




"Bun, aku mau dibuatin nugget."
"Bun, aku mau kolak."
"Bun, aku mau dibikinin cilok."
"Bun, aku pingin makan siomay."

Begitulah si kakak, 3 tahun 10 bulan, kalau lagi request camilan kepada bundanya (aslinya pakai bahasa Jawa kok, xixixi). Dia ini memang hobi nyemil. Makan nasi paling cuman seberapa, nyemilnya yang lebih banyak. 

Karena sedari kecil dia sudah saya biasakan tidak jajan sembarangan, jadi lebih mudah mengontrolnya. Sebagai konsekuensinya, emaknya yang harus uplek di dapur, bikinin camilan sendiri.

Kalau kita coba tengok jajanan anak yang biasa dijual pedagang keliling umumnya banyak yang tidak sehat. Cireng yang minyaknya sudah digunakan berkali-kali, minuman anak-anak yang mengandung pemanis buatan, bahkan ada juga yang sampai menggunakan pewarna tekstil hingga boraks atau formalin. Di tempat saya sendiri, nyatanya banyak pedagang juga menggunakan bleng untuk makanan seperti cilok, lontong, kerupuk dsb. Bleng bagi sebagian besar orang awam, dinilai sebagai bahan yang aman untuk makanan. Bahkan bleng juga biasa diperjualbelikan di pasar tradisional. Padahal bleng adalah bentuk tidak murni dari asam borat, sementara bentuk murninya banyak dikenal dengan nama boraks (detikfood).

Selain banyak yang tidak aman, jajanan anak umumnya hanyalah junkfood, makanan tinggi kalori tapi miskin gizi. Sementara jika kita bikin sendiri, kita bisa membuatnya dari bahan-bahan yang aman dan berkualitas. Agar mengandung gizi tinggi, kita bisa menambahkan aneka sayuran, protein hewani maupun nabati.

Seperti misalnya saat saya buat siomay kentang bayam saos kacang. Saya buat siomaynya dari dua buah kentang ukuran sedang ditambah 2 sdm tepung terigu dan 2 sdm tepung tapioka, agar siomaynya tetap empuk dan lembut untuk dimakan anak. Karena anak saya nggak menolak sayur, saya tambahin sayur bayam yang direbus dan juga telur puyuh. Siomaynya sudah mengandung gizi yang komplit bukan? Ada protein hewani, protein nabati, karbohidrat, lemak, vitamin, serat dsb. 

Siomay bayam telur puyuh (kanan) dan siomay kentang tahu saos kacang (kiri). Siomay dibuat dari kentang agar lebih empuk dan lembut.

Buat cilok pun pasti selalu saya mix dengan sumber protein (entah daging ayam, tahu, telur, ikan) dan juga sayuran (wortel, brokoli, kembang kol, kentang dsb). Saya biasa menggunakan bahan seadanya yang ada di kulkas. Sayur apapun yang dimasukkan, pasti mereka suka. 

Jika mereka ingin cireng (cilok goreng), biar aman dari kolestrol jahat (LDL), saya pakai minyak yang masih baru. Sementara kalau beli kan, minyaknya sudah dipakai berkali-kali. Masih panas langsung ditaruh di plastik pula. Hadeh... 

Biar menarik cilok cirengnya dibikin kekinian. Ini tetap dengan bahan-bahan lain yang bergizi seperti tahu, ikan, telur, sayuran dsb.

Mungkin ada ibu yang batin begini, "Aku mana bisa masak begituan? Masak menu harian saja masih sering dikritik suami?" Atau ada juga yang merasa nggak sempat bikin camilan sendiri karena keterbatasan waktu. 

Jangan gampang keburu nyerah gitu ah, Bun. Saya sendiri malah kalau masak suka nggak manut resep. Malas saja kalau harus nengokin resep terus-terusan. Masak cuman mengandalkan feeling yang kadang rasanya ada yang maknyus, ada juga yang kurang maknyus (karena kadang nggak dirasain dulu, atau hanya sekadar uji coba :D). Dulu malah, di awal saya masak saat jadi anak asrama, masaknya bahkan bermodal ilmu biologi, kimia, dan fisika. Hahaha, konyol kan? Tapi ternyata tiga ilmu itu kalau dipraktekin di dapur, nyatanya ya bisa juga. Hihihi.

Yang jelas, ketika Bunda ingin memberikan camilan yang sehat ke anak, kita harus punya tiga modal utama ini dulu.

1. Harus ada kemauan


Kalau Bunda sendiri nggak ada kemauan untuk memberi camilan sehat ke anak ya bawaannya pasti malas duluan. Ketika anaknya nagih pingin dibeliin cireng saat penjual cireng lewat, ya mau nggak mau dibeliin juga. Lain jika Bunda sudah terbiasa buat sendiri. Ada penjual lewat, anak minta dibeliin, kita bisa langsung cus ke dapur. Buatin cireng sendiri. 

Biar nggak punya oven dan tevlon, biar anaknya mau nasi, emaknya bikin pizza ala-ala dari telur, nasi dan bayam pakai wajan. Nekat kekinian kan? :D

Membuat camilan sendiri, selain lebih sehat dan bergizi, ini juga bermanfaat sekali untuk mengajari anak belajar sabar menunggu. Jika anak bisa dilatih sabar menunggu, maka kontrol emosinya akan bagus. Dia belajar tentang proses, tidak setiap yang dia mau akan langsung ada saat itu juga.

2. Sadar gizi


Ya, perlu kesadaran kita tentang gizi. Paling tidak, kita tahu tentang gizi seimbang yang mencakup karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan juga mineral. Kita harus paham setidaknya secara umum, bahan-bahan makanan mana yang mengandung karbohidrat, protein dsb. Tidak sulit di era sekarang untuk belajar ilmu gizi. Ikuti saja grup gizi atau akun gizi di media sosial, baca buku tentang gizi atau kalau sempat ikut seminar gizi untuk menambah pengetahuan kita tentang ilmu gizi.

Biar nggak repot, saya biasa buat agak banyak. Sisanya buat stok, disimpan di kulkas. Ini nuggetnya dari daging sapi, tahu, telur, wortel dan kembang kol. Komplit kan?


Saya sedikit menyayangkan ketika banyak ibu yang unggah foto makanan tapi disana banyak mengandung kalori tinggi, miskin sumber gizi lainnya. Buat cilok, hanya ada dari tepung kanji dan terigu. Padahal kan bisa kita tambah bahan lain yang bergizi. Buat puding, sudah gulanya segelas ukuran sedang, masih ditambah sekaleng susu kental manis yang gulanya tinggi. Padahal kan susu kental manis bisa diganti dengan susu cair yang kandungan gizinya lebih banyak atau mungkin bisa dilapis puding jagung, labu kuning, pisang dsb. Kalau sedari dini, anak dibiasakan dengan makanan yang tidak tinggi gula dan garam, insyaAllah dia akan terbiasa dengan rasa yang tidak terlalu manis dan gurih kok, Bun.

3. Percaya diri


Nah, ini juga penting sekali. Dengan modal ini, kita justru bisa berkreasi memberikan makanan atau camilan bergizi ke anak. Kebetulan, anak-anak saya ini lebih suka makanan yang sederhana atau yang biasa dia lihat saat temannya makan. Makanya saya suka malas kalau kepoin resep di Facebook. Lah, saya pernah beberapa kali pratekin resep itu, eh ternyata justru mereka nggak mau. Hahaha, padahal rasanya juga lumayan. :D Si kakak bahkan juga nggak suka sebangsa cake, brownies, bolu dsb. Maunya roti. Tapi karena belum punya oven ya sementara kalau mau roti, beli saja dulu. Xixixi.

Seperti halnya saya pede bikin puding jagung lapis jambu biji. Karena jambu biji kalau dibikin puding jadi bertekstur banget, pada akhirnya anak cuman mau yang bagian jagungnya. :D

Pada akhirnya saya harus pede berkreasi sendiri. Untung mereka makan yang sederhana pun mau. Nyemil jagung rebus, kacang rebus, telur rebus dsb. Namanya anak-anak, kadang suka moody. Hari ini mau jagung, besoknya belum tentu mau. Tapi untuk sebangsa cilok, cireng dan siomay, mereka selalu mauuuuuuu banget. Saking seringnya bikin, emaknya udah kayak pedagang cicisi, cilok cireng siomay. Hahaha.

Tingkat kepercayaan diri yang tinggi ini berpengaruh sekali dalam kesuksesan masakan yang kita masak. Kalau pada akhirnya gagal, kita akan lebih mudah mencari solusinya. Misal bikin puding jagung tapi anak nggak suka karena seratnya terlalu tinggi (karena nggak disaring, niru resep), pada akhirnya puding jagungnya diblender lagi, disaring, dibikin eskrim. :)

Kalau kita membiasakan untuk membuat camilan sendiri, insyaAllah mereka akan terbiasa tidak jajan sembarangan kok, Bun. Ketika dia mau makan siomay, bundanya bisa jadi tukang siomay buat dia. Mau cilok, bundanya bisa jadi tukang cilok buat dia. Ya, karena kita sudah membiasakan untuk membuatnya sendiri. Hayuk, Bun, bikin camilan yang sehat buat si kecil! :)

10 komentar:

  1. Kalau saya masih mending beli, biar nggak repot. (Memang nggak tahu masak) Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi, kalo cowok sih maunya yang nggak ribet alias beli aja. :D

      Hapus
  2. Whuaaa rajin banget sih Mbak, sama kayak kakak perempuanku yang serba bisa bikin cemilan. Pengen belajar ah, supaya Emir terbiasa juga sama masakkan Bundanya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi, iya. Kalo dibiasakan, nanti mereka justru bangga kalo bundanya bisa masak sendiri. :D

      Hapus
  3. karena gak bisa masak aku mah gak bisa bikin bekal dan waktunya kurang karena aku bekerja, tapi aku selalu memberi edukasi anak-anak apa ayng bileh dibeli apa yang gak boleh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang penting semaksimalnya mbak. Memberi edukasi makanan yang sehat atau nggak sehat ke anak juga penting banget. :)

      Hapus
  4. Wah, hebat Bunda rajin dan kreatif.
    Anak saya Fahmi juga jadi anak rumahan, jarang jajan di rumah. Karenanya saya kudu bisa ngulik bikin cemilan. Bukan cuma buat anak, tapi buat kita juga karena kan anak baru mau makan kalau lihat kita juga makan.

    Idenya akan saya coba Bunda, menyesuaikan dengan sikon di rumah. Soalnya di kampung saya pasar hanya ada selasa dan Jumat. Kudu bikin banyak sekaligus biar punya stok ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mbak. Lebih enak kalo bikin banyak sekalian, nanti buat stok. Kalo sewaktu-waktu anak mau nyemil, langsung dikeluarin dari freezer. Tapi kalo saya paling nyetok nggak banyak-banyak, agak kerepotan kalo harus bikin banyak. :D

      Hapus
  5. Selalu kagum dengan ibu2 yang rajin masak buat buah hati tercintanya. Saya siapin bekal buat suami sering malas2an.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi, mungkin lagi repot mbak jadi males. :D Saya juga kadang suka males kok. Tapi anehnya kalo lagi males masak pingin beli saja, ujung-ujungnya nggak jadi. :D

      Hapus

Mohon maaf komentarnya saya moderasi. Hanya untuk memastikan ada komentar dan komentarnya sopan. Terima kasih. :)