Selasa, 27 September 2016


Sumber foto : Pixabay

Dulu saya pernah nulis: Jangan Jadi Istri Nyebelin! Nah, sekarang gantian suami ya. 😁 

Ini lho mi, suami, beberapa sikapmu ini bisa bikin istrimu jadi gemes-gemes nyebelin. Grgrgrgrgr.... 😤😤😤


1. Nggak balesin pesan istri 


Ini nyebelin biyut tahu nggak sih, Pak. Mana si istri khawatirnya kebangetan, udah sampai dengan selamat belum, eh pesan balesan yang ditunggu-tunggu nggak nongol juga. Oke, istri mungkin paham kalau suaminya super sibuk sekali. Tapi ya, plis deh, Pak, cuman sekadar balesin, "Alhamdulillah udah..." gitu aja repot ya? 😩

Pff, mungkin istri perlu mengubah isi pesan. Nggak perlu nanyain orangnya, cukup tanyakan pada barang-barang yang dibawa pas tadi pergi. Semisal nanyain motornya, mantolnya, tasnya, sepatunya dsb. "Gimana, Mas? Mantolnya yang tadi dipakai udah nyampe sono dengan selamat kan? Nggak sobek kan? Aku nanyain mantolnya lho, nggak orangnya. 😜" Solusi yang jitu untuk obat cueknya. Hohoho.

2. Di-colekin berkali-kali, di-tagin hingga bersungai-sungai, hanya berakhir nyesek: DIABAIKAN! 


Sejujurnya, Pak, kalau istrimu suka nyolekin sampeyan pas nemu status bagus, dia ini cuman pingin nunjukin, "Ini lho, suami ane. Ane punya suami, Mak, Pak. Hubungan kami baik-baik saja. Kami juga selalu mesra."

Sayangnya, tiap kali nyolekin, boro-boro dikomenin atau sekadar di-like, kadang dibaca saja kagak. 😵😨😂 

Saran saya, kalau dicuekin mulu. Isi status yang dishare langsung ditunjukin ke orangnya. Kalau perlu ditodong buat baca. #istriganas :p 

3. Ketika dimintai pertimbangan istri, jawabmu, "Terserah kamulah..."


Kalau istri sampai minta pertimbangan ke suami itu karena dia masih ragu-ragu harus memilih yang mana.

"Mas, entar mau dimasakin menu apa?" 

"Terserah kamulah..."

"Kok terserah sih?"

"Ya, udah. Aku mau kare ayam."

"Hadeh, jangan kare, ah. Aku kan nggak suka yang pakai santan gitu. Tempe goreng sama sayur bening aja gimana?" 😝😝😝😝 *ini yang balik nyebelin siapa? 😎


4. Nggak peka dengan perasaan istri


Ya, karena mikirnya istrinya itu kayak dia: nggak gampang tersinggungan. 

"Masakanmu nggak enak, Dek. Asin." kata-kata yang begini potensi menyinggung besar lho, Pak. Padahal dia sendiri sudah uplek di dapur penuh perjuangan. Kalau dikritik jujur kek gini, rasanya nyesek banget lah, Pak.

"Terus harus bohong gitu?" Ya, nggak lah, Pak. Seenggaknya kemaslah kritikan itu yang lebih manusiawi. "Emang kritikannya hewani?" Bukan, Pak. Nabati. 😌

Baca juga : Suami Beng-Is

Misalnya ngeritiknya pakai gaya kek gini, "Masakanmu sebenernya enak juga kok, Dek. Asal garamnya dikurangin. Hihi. Tapi karena istriku sudah susah payah masakin, ya tetap aku makan sampai habis. Jangan nyerah ya. InsyaAllah besok istriku bakalan pinter masak yang sesuai selera suaminya." Ini lebih enak diterima ketimbang yang tadi. Ya, walau saya juga sangsi. Genk suami kan umumnya pada hemat kata: satu atau dua kalimat saja cukup! 😂😂

5. Nggak paham dengan keadaan istri


Udah istri rempong ngurusin bocil-bocil, masih ditambah tetek bengek urusan rumah tangga lainnya. Eh, sampeyan, boro-boro bantuin, malah kadang masih nambahin kerjaan istri. "Dek, ntar sepatuku dilapin dulu. Dek, motorku juga sekalian dilapin ya." Mukanya sampeyan perlu dilap juga nggak, Pak? 😝😝😝

"Yeila... Itu kan tugasnya dia." Oh, gitu? Termasuk ngelap muka sampeyan ya? 😆😆


Seenggaknya, Pak, meringankan tugas istri itu nggak akan melunturkan kemaskuliananmu. Justru keren lagi jika sampeyan mau bantuin mandiin anak, jemurin baju, nyapu, syukur-syukur juga ngepel sekalian. Eniwae, Pak, sosok family man itu dambaan para wanita. "Oh, ya?" Mukanya sampeyan langsung sumringah semriwing. "Terus, terus?" Nggak jadi, Pak, entar saya disewotin para istri. :p


6. Pas istri mau curhat, suami malah sibuk sendiri


Istri itu curcol mania, Pak. Kalau sampeyan nggak bisa jadi pendengar yang baik, potensi dia bakalan curcol ke ladang yang nggak tepat. Apalagi kalau dia sampai curhat ke pesbuk, bisa ruwet ini, Pak.

So, Pak, jadilah pendengar yang baik dan partner sharing paling asyik untuk istrimu. Dia hanya butuh didengerin aja kok, Pak. Ngurusin bocil-bocil dengan segala tetek bengek urusan rumah tangga itu bukan hal yang mudah. Capeknya kebangetan, Pak. Suaminya mbak Wulan Darmanto saja juga sudah membuktikannya ketika seminggu dia nyobain jadi Bapak Rumah Tangga.

Okelah, Pak. Segini aja dari saya. Nggak usah banyak-banyak ngorek yang nyebelin dari suami. Entar saya bisa dipetisi genk suami. :p 

Saya hanya nyebut yang nyebelin dari sikap suami lho ya. Kalau ada suami yang suka ngomong kasar, bahkan sampai bertindak melakukan kekerasan ke istri, hedehhhh...dia mah udah nggak masuk dalam kategori suami nyebelin. Mereka tingkatnya udah horor, Mak, Pak. Suami kek gitu lebih baik "dikebumikan" saja. 😝😝😝

*tulisan diatas sebetulnya adalah status FB, karena target pembacanya adalah para suami makanya saya lempar ke sana dulu. Saya posting ke blog, biar kalau mau baca bisa lebih mudah nyarinya. :D

Jumat, 23 September 2016




"Bu, apa aku ini bodoh?" tanya Syafa (hanya samaran), 6 tahun, pada ibunya hari itu.

Ibunya terhenyak. "Kenapa tanya begitu? Siapa yang bilang kamu bodoh?" tanya ibunya sedikit marah.

"Bu Dhe itu yang bilang kalau aku ini bodoh," jelasnya polos.

Syafa ini adalah anak tetangga saya. Dari cerita ibunya, dia memang belum dinaikkan ke kelas satu, karena dari sisi kemandirian dan juga umur, menurut gurunya, memang masih kurang. Ibunya pun juga memilih agar anaknya ini belajar di TK, setahun lagi, sebelum nantinya naik ke bangku sekolah dasar.

Hanya karena Syafa masih tinggal kelas di TK, ada tetangganya yang nyeplos menyebutnya bodoh. Mungkin baginya, anak sekecil Syafa hanyalah anak polos yang tidak terlalu menganggap serius dengan sebutan bodohnya. Padahal sebutan bodoh bisa saja mempengaruhi psikisnya. Beruntunglah, ibunya bisa meyakinkannya kalau dia bukan anak bodoh. 

Syafa juga salah satu murid TPA saya. Dia ini memang tipikal anak yang harus diyakinkan dulu sebelum belajar.

"Bu guru, aku nggak bisa baca iqro'," lapornya sebelum belajar membaca iqro'. 

"Bisa. Mbak Syafa kan anak pintar. Kalau mbak Syafa berusaha, insyaAllah bisa kok. Ayo, belajar sama Bu Guru," terang saya berusaha meyakinkan. Dia akhirnya mau, tapi di tengah jalan dia lagi-lagi akan mengatakan kalau dia tidak bisa.

Saya pun Pernah Disebut Bodoh


Kisah Syafa ini mengingatkan saya pada masa kecil dulu. Ya, saya adalah korban dari orang-orang dewasa yang enteng melabeli saya dengan sebutan si bodoh. 

Saudara dan sepupu-sepupu saya rata-rata termasuk anak paling pintar di kelas (baca: selalu dapat rangking 1 di kelas, atau minimal dapat 3 besar). Sementara saya? Saya hampir tak pernah dapat rangking di kelas. Bahkan nilai saya pernah sejajar dengan murid yang sering berada di urutan akhir. 

Saya bisa dapat rangking 3 di kelas, kata mereka, hanya saat guru kelasnya adalah tetangga saya sendiri. Itu pun di depan mata saya, dia bilang kalau kemampuan saya menguasai pelajaran sangat kurang sekali. Bahkan disamakan dengan murid lain yang nilainya paling rendah. Lah, kenapa juga saya dikasih rangking 3? Batin saya. Karena begitu membekas, sampai sekarang saya masih mengingat detail tempat dimana si bapak guru ini menyebut saya begitu lho. Hihihi.

Padahal, sebetulnya saya juga pernah dapat rangking 3 saat guru kelasnya adalah bu guru S. Beliau bukan tetangga apalagi kerabat dan saya pun tidak terlalu dekat dengannya. Ini artinya?

Tapi saking banyaknya orang yang menyebut saya bodoh, membandingkan dengan saudara dan sepupu yang selalu rangking 1, membuat saya semakin tidak percaya diri dengan kemampuan saya. Saya pun jadi merumuskan sendiri sehingga melekat kuat dalam benak saya: SAYA BODOH, SAYA TIDAK AKAN BISA. 


Sampai satu ketika saat duduk di bangku kelas 6, guru yang selalu memarahi saya dan selalu menyebut saya sok pintar--karena saya seringkali punya cara sendiri ketika diajar olehnya--tiba-tiba mendekati saya di koridor kelas. "Kalau kamu pingin pintar, dapat rangking di kelas, berusahalah, belajar yang rajin."


Kalimat itu perlahan menyadarkan saya bahwa siapapun kita, jika berusaha, insyaAllah bisa. Mungkin kalimat itu hanya sepele, tapi efeknya sungguh luar biasa bagi saya, saya yang kala itu hampir-hampir tidak percaya diri dengan kemampuan saya. Setidaknya kalimat pelecut itu mampu memotivasi untuk giat belajar lagi.

Alhamdulillah berkat kerja keras, saya bisa mendapat NEM (Nilai Ebtanas Murni) terbaik nomor dua di sekolah. Hasil yang membanggakan ini ternyata mengejutkan bagi orangtua siswa yang anaknya sering dapat rangking di kelas. 

"Masa' sih Is yang bodone ngetheki (dalam bahasa Jawa, kata-kata ini termasuk kasar yang artinya bodoh sekali) bisa dapat NEM tinggi? Pasti dia nyogok itu," tuduh seorang ibu.

Nyeseknya, kalimat itu diucapkan di depan saya langsung. Saat itu saya duduk di dipan emperan rumah teman saya yang dapat NEM tertinggi. Saya harus mengulum senyum lebar-lebar kepada ibu tersebut, sembari menahan air mata agar tidak menyembul keluar. Dalam batin saya kala itu, apa dipikir saya nggak paham dengan kalimat yang diungkapkannya. Saking membekasnya, saya lagi-lagi masih mengingat detail kejadiannya sampai sekarang.

Sepulang ke rumah, tangis saya tumpah ruah. Sesegukan sendirian karena kedua orangtua sibuk bekerja di luar rumah. Siangnya saya ketemu saudara sepupu, saya curhat kepadanya. 

"Nggak usah dimasukin ke hati. Yang penting kan kamu emang nggak nyogok. Biar mereka ngatain apa, nggak usah dipikirin," ujarnya menasihati. Saya langsung lega. Nggak ada gunanya juga mikirin hal yang nggak penting bukan?

Beruntunglah saat itu label 'bodoh' yang disematkan pada saya hanya berpengaruh pada kemampuan akademik. Saya hanya tidak percaya diri untuk masalah penguasaan ilmu di sekolah saja, selebihnya saya bukanlah seorang anak yang suka menyendiri, tidak percaya diri untuk bergaul bersama teman-temannya. 

Saya sendiri tipikal orang yang hanya sakit hati pada saat itu, setelahnya akan menjadi hal yang amat nggak penting jika saya sampai harus menyimpan luka hati terus-terusan. Kalau toh saya bisa mengingat detail kejadian, itu bukan karena masih menyimpan luka. Sejauh ini saya memang bisa mengingat detail kejadian pada satu kejadian yang spesial, entah suka ataupun duka.


Inilah mengapa, Ayah Bunda, janganlah sekali-kali menyebut anak kita termasuk anak orang lain, dengan sebutan bodoh! Jangan pikir mereka ini masih polos sehingga tidak mengerti atau mungkin tidak sampai berpengaruh buruk pada psikisnya.

Seperti kata Albert Einstein bahwa setiap anak itu genius. Namun jika kita menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat sebatang pohon, maka dia akan berpikir dirinya bodoh di sepanjang hidupnya. Semoga bermanfaat. :)

Jumat, 16 September 2016




Ya, karena ibu tetaplah ibu. Nggak peduli apakah dia ibu ASI atau ibu sufor, ibu yang lahiran normal atau sesar, ibu rumahan atau ibu pekerja, ibu tanpa ART atau yang punya ART, bahkan ibu yang suaminya ada di rumah atau yang lagi LDR-an sama pak suami.


Kayaknya kalau kita ikutan perang opini antara dua tipe ibu yang bertolak belakang ini nggak akan ada selesainya. Iyup, yang ada bisa jambak-jambakan jilbab entar. Oh, enggak ya? Kan 'perang'-nya di medsos. Paling hanya balik nyinyir atau blokir. Hihihi. 😜

Padahal nih ya, kalau kita pikir-pikir, sebetulnya ibu macam apapun tetaplah sama kok. Nggak percaya? Coba cek doi pas anaknya lagi sakit. Doilah yang rela begadang semalaman ngurusin si bocil yang rewel karena sakit. Ibu manapun pasti akan begini.

Nggak peduli mata merah bin pedes karena melek semalaman atau tubuh pegal-pegal karena gendongin si bocil. Bahkan, ada juga yang nekat motoran, gendong si bayi malam-malam ke dokter karena demam mendadak naik hingga 40 derajat celcius. Horornya lagi, di belakang punggungnya juga nemplok si kakak kecil dalam balutan selendang yang diikat kuat karena si kakak juga ikutan sakit. Ini beneran ada lho, saudara-saudara (Nggak usah lirik saya, bukan saya kok :D).

Andai seorang ibu diuji dengan musibah kebakaran, gempa dsb, maka secara spontanitas dia akan menyelamatkan anaknya. Baginya, tak mengapa dia terluka asal anaknya selamat. Serius. Ketika anaknya sakit, harus nginep di rumah sakit, rasanya seperti tercabik-cabik saat anaknya nangis berontak karena ditusuk jarum infus. Andai sakit bisa ditukar, maka seorang ibu pasti akan mentransfer sakit anaknya ke dalam tubuhnya. Biar ia saja yang merasakan sakit, asal jangan anaknya.

Ibu macam apapun akan rela berbagi makanan untuk anaknya, bahkan jika harus dihabiskan oleh anaknya sekalipun. Padahal adanya cuman itu, sedang anaknya sendiri sebetulnya sudah makan. "Ah, aku nggak segitu ngenesnya lah sampe kayak gitu," timpalmu ngebatin.

Okelah, mungkin perlu dicek saat ada orang yang ngasih oleh-oleh sehabis jalan-jalan. Jumlahnya hanya seumplik. Biar kemecer ngiler pingin nyomot sebiji, mau nggak mau harus nelen ludah karena anak-anaknya minta lagi. Rada untung kalau masih ada grogokane (bahasa indonya apa sih? Hahaha), seenggaknya kemecernya sedikit terbayarkan. Wkwkwk.

Kalau makan di warung, foodcourt atau tempat makan lain, doilah yang paling rempong sendiri. Nyuapin si kakak, gantian si adik. Dianya sendiri yang paling belakangan. Itupun kadang jatahnya masih direcokin si bocils yang masih ingin makan lagi. Agak repot kalau makannya rombongan sama keluarga lain. Baru nyuap sesendok, orang-orang sudah pada siap-siap angkat kaki. Hahaha. Ya, udah deh. Bungkusin. Makan di rumah saja (padahal entar di rumah, pasti diserbu sama si bocils :p).

Seorang ibu sudah pasti akan mendahulukan anaknya. Apa-apa yang dipikirkan ya untuk kebutuhan anaknya. Coba cek kalau pas ke toko baju, pasti yang pertama kali dicari ya baju untuk anaknya. Nyari sendal dan sepatu, yang nomor wakhid ya buat anaknya. Ke toko asesoris, lagi-lagi ya buat anaknya. Kalau kita coba kulik-kulik nih, mengapa online shop yang jualan baju anak selalu ramai, meski nggak lebaran? Ya, itulah ibu. Betapapun dia kepincut pingin beli baju, pasti dia lebih mengutamakan anaknya.

Inilah seorang ibu. Ibu manapun pasti akan begini. Saya ngomongin ibu betulan lho. Bukan ibu abal-abal yang buang anaknya sembarangan. Dia mah nggak masuk klasifikasi seorang ibu.

Nggak usah saling mencerca. Kita baik sangka saja. Boleh jadi mereka yang memberikan sufor karena kurang teredukASI, keluarga tidak mendukung, bingung puting lalu menolak ASI (efek dari RS yang tidak pro ASI karena bayinya sudah keduluan diberi sufor), atau memang kondisi tubuh ibunya tidak fit (karena ada teman yang mendadak lemas setelah nyusuin karena dia lemah jantung). Boleh jadi mereka yang terpaksa lahiran sesar karena jika tidak justru akan membahayakan bagi ibu dan bayinya. Kalau toh disebut bukan wanita seutuhnya, ah, mungkin dia nggak tahu, bahwa merekapun juga merasakan kontraksi yang aduhai rasanya tiap 5 menit sekali. Kan terpaksa lahiran sesar, bukan pingin disesar. 😄 Boleh jadi mereka yang terpaksa bekerja karena keadaan ekonomi keluarga masih sangat kurang jika hanya mengandalkan suami.


Lalu siapa yang paling baik? Ah, biar Allah yang menilai sajalah. Bukan hak kita menilai seseorang. Yang jelas, seorang ibu yang baik akan memberikan yang terbaik bagi putra-putrinya semampunya, bukan semaunya. Pendidikan terbaik, pengasuhan terbaik, waktu terbaik, asupan terbaik dsb.

Ayuk, Mak, kita salaman saja. Damai itu indah, hati juga tenang, pikiran jadi longgar. Kalau saling nyinyir, entar cepat tua lho. Pasti nggak mau kan dituduh jadi embaknya suami atau bahkan emaknya suami? 😱 Onayyy onayyy! 😂😜


Sabtu, 10 September 2016



Inilah salah satu kebiasaan katrok ala saya yang betul-betul nunjukin kalau saya ini wong ndeso asli. Hihihi. Iyup, rajin nyelengin di toples atau bekas wadah makanan, untuk beli barang yang harganya agak mahal termasuk untuk berkurban, adalah kebiasaan saya dari jaman masih jomblo hingga menikah. Bedanya, sekarang lebih disiplin dan terencana kali ya. Kalau dulu lebih sering seenaknya, tujuan nggak jelas dan tanpa perencanaan yang matang.

Buat saya, nyelengin di wadah apapun nggak masalah. Karena saya nyelengin untuk beberapa pos, makanya biar ngirit saya lebih milih pake wadah bekas saja. Kadang karena pos tabungan ada banyak (untuk tabungan pendidikan anak, beli barang X, kurban, dana perjuangan dsb), sampai saya kehabisan wadah untuk nyelengin recehan. Sampai gayung yang pecah pun nekat dipakai. Gayungnya di plester lalu atasnya ditutup dengan lakban. Taraa...jadilah celengan ala-ala. Hahaha. Dasar emak ngirit. :D

Baca juga : Smartphone, Mengubah Saya dari Emak Kucel jadi Emak "Ajaib"

Ya, karena yang paling penting kita bisa disiplin nyelengin kan? Apalah guna beli celengan segede kambing kalau bawaannya pingin mukul pake palu? Kadang, kalau masih sayang, celengannya dilubangi kecil di bawahnya. Sejimpit demi sejimpit diambil. Lama-lama? Ya, nggak bakalan nambah-nambah. Orang diambil mulu. :p

Oke, kembali pada "Berkurban dari Toples". Saya sudah mempraktikkan ini sejak tahun 2012, ketika saya dan suami memutuskan resign dan memilih usaha kecil-kecilan di rumah. Karena pendapatan kami harian, maka ini semakin memudahkan untuk merencanakan berkurban. Dengan penghasilan kami yang fluktuatif, kadang naik kadang turun, disiplin nyelengin sedikit demi sedikit ternyata sangat membantu sekali bagi kami. Sehingga saat Hari Raya Qurban tiba, kami tidak perlu panik karena biaya kurban sudah dipersiapkan dari nyelengin di toples.

Meski hanya nyelengin di toples, tapi praktiknya harus saya rencanakan matang-matang. Jadi tidak asal-asalan kalau ada recehan sisa lalu dicelengin di toples. Inilah beberapa tips dari saya saat nyelengin di toples untuk beli hewan kurban.

1. Tentukan tempo menabung.

Saya biasa memilih tempo waktu yang tidak terlalu lama untuk menabung. Ini untuk memperkecil godaan dari segala bentuk ketidakdisiplinan. Apalagi untuk seorang emak erte yang mengurus bocil-bocil macam saya, agak sulit untuk disiplin menabung, menyisihkan uang di celengan tiap hari. Maka, saya biasanya memilih tempo waktu 3-6 bulan tergantung berapa besar biayanya dan kelonggaran uang untuk ditabung.

Seperti saat kurban di tahun ini, saya kemarin baru mulai merencanakan menabung mulai tanggal 1 Juni 2016 karena sebelumnya sudah ada beberapa pos tabungan yang kudu diselesaikan dulu. Jika hari Raya Idul Adha jatuh pada hari Senin, tanggal 12 September 2016, ini artinya saya punya waktu 103 hari untuk menabung biaya kurban.

2. Tentukan kira-kira berapa besar biaya untuk membeli hewan kurban.

Kalau di Solo Raya--karena mertua saya jualan hewan qurban--biaya untuk membeli kambing yang layak qurban sekitar 1,6 juta (sudah termasuk biaya transport dan pemotongan). Ini artinya paling tidak saya harus bisa nyelengin tiap hari sebesar Rp. 15 ribu. Saya punya waktu selama 103 hari untuk menabung, lalu dikalikan 15.000, maka akan kita dapatkan Rp. 1.545.000. Masih kurang sedikit, bisa kita tambah dari penghasilan kita. Setidaknya nggak terlalu berat kalau hanya nombokin sedikit kan?

Itu cara saya ketika terpaksa ambil tempo agak mepet karena ada kebutuhan lain yang lebih didahulukan. Tahun lalu, saya biasa ambil tempo 6 bulan. Jadi lumayan agak ringan nyicilnya. Kalau kamu bisa disiplin nyelengin dalam waktu setahun ya malah lebih baik. :)

3. Setelah kumpul agak banyak, uangnya bisa ditabung dulu ke bank.

Biasanya setelah terkumpul 300 - 400 ribu, saya akan tabung ke bank agar uangnya tidak amblas keambil untuk kebutuhan lain. Ini setidaknya membantu banget saat kita tergoda untuk mengambil uang celengan. Biar tidak kecampur yang lain, jangan lupa untuk mencatat, berapa uang untuk kurban yang sudah kita titipin ke rekening kita.

4. Jika kepepet boleh diambil, tapi statusnya hanya pinjam dan lekas dikembalikan.

Mungkin ada kebutuhan yang sangat mendesak. Mau tidak mau harus mengambil uang tabungan untuk kurban. Ini boleh-boleh saja, asal statusnya hanya pinjam. Karena pinjam, otomatis harus segera dikembalikan jika sudah ada uang. Jangan lupa untuk mencatat, berapa uang yang kita pinjam. Agar tidak berat membayar, boleh pakai cicilan (tetap harus dicatat lho ya). Dengan begini, uang tabungan akan tetap aman.

Inilah beberapa hal yang saya lakukan untuk menabung biaya pembelian hewan kurban. Yang jelas, ketika kita menabung, ada tiga hal yang harus kita perhatikan. Pertama, tujuannya harus jelas. Kedua, rencanakan dengan matang-matang. Dan ketiga, harus disiplin.

Mungkin cara saya ini bisa dipraktikan tahun depan ya. Atau emak-embak punya cara lain yang lebih wokey lagi agar bisa berkurban? Bisa sharing disini ya. :)

Selasa, 06 September 2016



Beberapa waktu lalu saya posting tentang kabar ibu yang ketiga balitanya tewas terbakar saat ditinggal ibunya shalat dhuhur di masjid. Sesuai tebakan saya, ternyata banyak orang menyalahkan sang ibu. "Bukankah sebaik-baik shalat bagi wanita itu di rumah? Suaminya lagi nggak di rumah, kenapa pula nekat keluar rumah meski shalat jama'ah di masjid? Kenapa rumahnya harus dikunci? Kenapa pula ninggal kompor yang masih nyala?" Dan suara-suara senada yang memojokkan si ibu. (Baca : Karena Anak Kita, Titipan dari-Nya)

Ah, sudah. Cukup. Andaikan kita menjadi si ibu itu, yang sudah kehilangan ketiga balitanya, bagaimana rasanya ketika orang yang melayat justru terus menghakiminya? Iya, mungkin ia teledor. Iya, mungkin ia lengah. Tapi manusia memang tempat khilaf dan lupa. Tidak ada ibu yang sengaja menyakiti anaknya. Kalau toh ada, jangan sebut mereka ibu.

Bahkan ketika di media sosial ada penggalangan dana untuk ibu ini, banyak facebooker yang menyalahkan sang ibu. Ada pula yang tega menyebutnya syiah. Ah, manusia. Betapa kita sibuk mencari kesalahan orang lain sedang kita merasa sudah paling baik sendiri. Na'udzubillah min dzalik. Semoga kita bukan orang seperti ini.

Baca juga : Merasa Lebih Suci

Salah satu teman facebook saya juga membeberkan kisahnya ketika putri kecilnya meninggal karena tersedak. Orang-orang yang melayat sibuk bertanya ini itu, mengapa bisa terjadi. Mereka pun enteng saja berkomentar, "Kenapa tidak ditepuk punggungnya?" Karena sebelumnya si kecil diajak piknik ke pantai, ada juga yang berkomentar, "Kenapa juga diajak jalan-jalan ke pantai? Jadinya masuk angin kan?"

Mereka seakan lupa dengan takdir Allah. Tidak ada yang tahu kapan kematian akan menjemput. Andai kita tahu, tentu kita akan tetap berada di rumah, menjaga anak-anak kita. Tapi kita hanyalah Makhluk-Nya yang tidak akan pernah tahu yang terjadi untuk nanti, esok, lusa, atau mendatang.

Hanyasanya, terkadang manusia sibuk mencari penyebab yang tanpa sadar seperti menyalahkan ibunya karena dinilai abai mengurus buah hatinya. Kenapa kita tidak menjadi pribadi bijaksana? Memilih menjadi pribadi seperti ini tentu jauh lebih menentramkan ketimbang kita sibuk mencampuri urusan orang lain.

Lalu bagaimana menjadi pribadi yang bijaksana?

Pertama, berusaha memahami keadaan. 

Ada teman berkisah, di malam saat buah hatinya meninggal, seorang kerabat jauh yang kesasar, menelpon menanyakan dimana rumahnya. Padahal sang ibu baru saja menata hatinya selepas sejam yang lalu putri kecilnya meninggal dunia. Andai ia paham keadaan, tentu ia akan menelpon saudara atau kerabat lain yang tahu rumahnya, bukan? Kita terlihat peduli, dengan datang melayat malam itu juga, tapi kita mengabaikan bagaimana keadaan mereka yang tengah berduka.

Kedua, mengertilah dengan perasaannya.

Memang benar, mungkin balitanya meninggal karena keteledoran sang ibu. Tapi menghakiminya ketika ia sendiri baru dirundung duka, tentu kurang bijaksana. Percayalah, sang ibu sudah pasti akan menyesal dengan keteledorannya. Saya yakin, ia akan mengambil hikmah di balik musibah ini.

Alangkah bijaksananya jika kita menghibur, menguatkannya. Semoga ia bisa sabar dengan musibah ini.

Ketiga, berprasangka baik.

Seperti dialami ibu yang ketiga balitanya tewas karena terbakar usai ditinggal shalat dhuhur ke masjid. Betul memang, sebaik-baik masjid bagi seorang wanita itu di rumah. Tapi shalat berjama'ah di masjid bagi wanita juga tidak dilarang. Boleh jadi si ibu punya alasan lain, mengapa ia lebih memilih shalat berjama'ah di masjid. Mungkin anaknya memang terbiasa tidur lama saat siang hari, dan si ibu biasa meninggalkan mereka shalat dhuhur di masjid. Mungkin juga karena sekalian mau ada urusan lain. Atau memang suaminya sendiri mengijinkan istrinya shalat di masjid karena di rumah hanya shalat sendirian.

Kita tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi, yang kita tahu hanya sebatas berita dari media. Boleh jadi ada hal yang luput oleh media, atau bisa jadi juga isinya ada yang tidak sesuai dengan kenyataan. Wallahu'alam. Alangkah bijaknya, jika kita berprasangka baik kepada sang ibu tersebut. Allah berfirman yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain..." (QS. Al-Hujurat 12)

Keempat, lebih baik diam, tidak ikut berkomentar lebih jauh jika belum tahu faktanya.

Beberapa waktu lalu, ada teman yang membagikan berita penculikan dari salah seorang pengguna facebook. Karena saya tak akan asal membagikan tanpa cari tahu lebih lanjut, saya kunjungi kronologinya. Saya baca komentar yang masuk. Ada seorang ibu yang langsung menyuruh untuk segera lapor ke polisi ketimbang curhat di facebook. Dia menyampaikannya dengan kalimat penegasan dan berulang. Padahal di komentar awal, si ibu muda ini sudah menjelaskan bahwa dia sudah melapor ke pihak polisi.

Betul memang, statusnya dalam dua hari terakhir hanya berisi berita penculikan anaknya. Kalau disebut curhat juga tidak keliru. Tapi, andai kita berada di posisinya yang kehilangan putri kecilnya karena diculik orang, mungkin usaha apapun akan kita lakukan termasuk terus mengunggah foto si kecil dan penculiknya--yang ternyata masih kerabat. Ya, kali saja ada orang yang tahu.

Tapi, umumnya manusia ya seperti ini. Belum tahu faktanya seperti apa, kita sudah sibuk mengomentari begini dan begitu, menyebut ini dan itu. Ah, bukankah diam di saat seperti ini adalah lebih baik?

Kelima, kroscek boleh, tapi tahu tempat dan kapan waktu yang tepat.

Tentu tidak etis ketika kita berusaha mencari tahu lebih jauh saat yang ditanyai adalah ibunya sendiri yang baru menata hati untuk ikhlas dengan kehilangan balitanya. Mungkin kita ingin kroscek lebih jauh kebenaran ceritanya. Namanya juga naluri manusia yang kepingin tahu.

Jika begini, ada baiknya kita kroscek kepada saudara atau kerabatnya yang lain yang bisa dipercaya tanpa menyinggung perasaan atau menyudutkan keluarganya. Pun begitu, sekali lagi, memilih diam tentu jauh lebih baik.


Keenam, mendoakan dan menyemangatinya agar tetap bersabar.


Ya, ketimbang kita kepo tanya ini, tanya itu, kenapa begini, kenapa begitu, lebih baik kita mendoakan semoga ia mendapat tempat terbaik di sisi-Nya, dan kelak bisa dipertemukan kembali dengan Ayah Ibunya. Yang anaknya diculik juga semoga lekas ketemu dan kumpul kembali dengan keluarganya. Doa yang tulus, apapun itu. Agar mereka kuat, kita terus memotivasi, menyemangatinya. Sehingga mereka yang diuji tetap bersabar dengan musibah yang menimpa mereka.

Bukankah lebih menentramkan jika kita menjadi pribadi yang bijaksana ketika mereka tengah diuji musibah? Ketimbang sibuk mencampuri urusan orang lain yang terkadang tanpa kita sadari justru menyinggung perasaan mereka, kenapa tidak kita memilih bersikap bijaksana? Ya, menjadi pribadi yang bijaksana. Semoga kita termasuk orang seperti ini.
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!