Selasa, 28 Juni 2016



"Bannya copot!" Seru Dinda, 3 tahun, saat tengah menaiki sepeda anak saya. Dia lantas meminggirkan sepedanya. Ketiga temannya, termasuk anak saya, datang menghampiri.

Saya hanya mengamati dari emperan toko, menunggu reaksi polos mereka saat dihadapkan pada masalah seperti ini.

"Bannya dikasih lem saja, Din," saran Fika, 4 tahun. "Aku ambil lem dulu di rumah ya?"

"Dipukul pakai batu saja bannya." Anak saya ikut beri solusi, terinspirasi dari ayahnya saat memasang ban sepeda roda tiga itu dengan dipukul (tapi menggunakan tangan). Fika tak jadi pergi. Sementara Dinda ambil batu, dipukullah ban yang copot itu agar terpasang kembali.

"Sini aku bantuin pegang sepedanya," kata Galang, 4 tahun, sambil memegang sepeda agar tidak geser. Diikuti Fika dan anak saya.

Hihihi, seru ya kalau kita mengamati tingkah polos mereka, apalagi di saat mereka tengah diuji dengan masalah semisal ban sepeda copot. Apa pada akhirnya mereka berhasil memasang kembali ban sepedanya? Jelas tidak. Tapi memberi kesempatan mereka memecahkan masalah adalah salah satu cara untuk membentuk mereka menjadi anak yang tangguh.

Pada akhirnya si ayah-lah yang memperbaiki memasangkan kembali ban yang copot. Dengan membimbing mereka, setidaknya mereka akan merekam bagaimana memasang ban bila sewaktu-waktu ban copot kembali.


Memang umumnya orang tua terlalu banyak terlibat saat anaknya menghadapi masalah. Mereka bahkan tidak memberikan kesempatan bagi si kecil untuk belajar memecahkan masalahnya sendiri. Ya, alasannya karena mereka masih kecil. Toh yang dilakukan juga salah atau nggak beneran, pikir orangtua.

Orangtua biasanya tidak sabar saat si kecil ingin belajar mengerjakan sendiri. Pakai baju misalnya. Ketika si kecil berkata, "Ma, aku pakai baju sendiri ya?" Ibunya malah bilang, "Nggak usah. Biar mama saja yang pakaikan. Entar kelamaan!"

Kedengarannya mungkin simpel, tapi kebiasaan ini bisa saja membuat anak akhirnya jadi malas untuk mengenakan baju sendiri. Atau jika ibunya sampai berujar, "Kamu nggak bisa pakai baju. Biar mama yang pakaikan!" Ini jelas mematahkan semangatnya untuk belajar memakai baju sendiri. Dari sinilah timbul rasa tidak percaya diri dengan kemampuannya. Akibatnya, anak bukannya lebih mandiri, justru semakin manja. Maka tidak mengherankan jika anaknya nanti akan terlalu bergantung dengan ibunya, dikit-dikit minta bantuan ibu.

Dilansir dari tempo.co, kemampuan memecahkan masalah pada anak harus dilatih sejak kecil. Orang tua dapat memulainya dari hal-hal kecil yang ditemui setiap hari. Menurut psikolog Lucia R.M. Royanto, kemampuan memecahkan masalah pada anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan berupa stimulasi-stimulasi psikologis melalui kegiatan yang dilakukan bersama anak dan asupan nutrisi yang diterima oleh anak. Stimulasi psikologis yang diberikan oleh ibu, berupa permainan dan latihan, dapat mengembangkan kemampuan anak dan membantu perkembangan anak secara maksimal.

Seperti dikutip Republika Online yang dilansir dari The Huffington Post, mengajari mereka memecahkan masalah sendiri akan membangun kemampuan mengambil sikap, dan semangat tangguh dalam menghadapi tantangan dalam hidup.

Saat si sulung yang berusia 3,5 tahun itu bermain dengan teman-temannya, saya biasanya hanya menjadi pengamat diam-diam. Terkadang saya mengintip dari balik kaca etalase, atau sengaja menjaga jarak 5-10 meter, untuk melatih kemandirian dan keberanian. Namanya anak-anak, sesekali ia akan dinakali temannya atau disewoti oleh mereka karena salah satunya membawa ipad.

Di saat seperti ini, saya tidak akan langsung mendekatinya, atau bahkan sampai ikut campur memarahi mereka. Jika ia tidak sampai menangis, saya akan menunggu reaksinya. Ah, ternyata dia cuek saja! Saat ketiga temannya pada ngumpul main ipad, dia pede saja duduk di sebelah mereka. Sesekali ia mencuri pandang dengan saya, lalu ia tersenyum girang. Dia memilih mainan sendiri. Karena terus dicuekin, akhirnya dia pulang ke rumah tanpa beban. Hihihi.

"Kamu tadi dicuekin temanmu ya?" selidik saya. Dia membalas dengan tawa. "Nggak apa-apa. Tapi jangan ikut-ikutan nyuekin kayak mereka ya?" Dia mengangguk. Saya balas dengan pelukan.

Baca juga : Karena Bahagia itu Sederhana, Nak!

Mungkin sebagai ibu kita khawatir dengan balita kita. Ibu mana sih yang tega melihat anaknya diencepi (bibir dimiringin tanda nyinyir)? Pasti ada rasa sedih atau segera menjauhkan ia dari mereka, bukan?

Karena saya pernah ikut mendampingi adik-adik asrama usia SMA, betapa mereka akan merasa tersisih hanya karena dicueki teman-temannya, maka sebagai ibu saya merasa perlu menguji mentalnya saat diposisikan seperti ini. Ternyata dia bisa tahan mental. Dicueki karena asyik mainan hp (sementara anak saya tidak), ya dia enjoy main sendiri. Terkadang ada temannya yang tertarik ikutan main. Kalau terus dicueki ya pulang sendiri.

So, Bun, berilah kesempatan kepada si kecil memecahkan masalahnya sendiri. Pantaulah bagaimana ia menyelesaikannya. Jika ada yang kurang, bimbinglah ia. Pujilah ia dan berikan pelukan agar ia bangga dengan sesuatu yang telah ia lakukan, bagaimana pun hasilnya. Semoga bermanfaat. :)

Senin, 20 Juni 2016


Sumber gambar: tempo.co, edit by me

Beberapa waktu lalu, tepatnya ba'da Maghrib sebelum puasa pertama, seorang ibu muda tiba-tiba dihadang dengan sebilah pisau oleh seorang pria saat tengah membuka kios. Ibu satu anak ini biasa mengantar barang dagangan ke pasar di jam-jam seperti ini.

Mirip adegan di sebuah sinetron, pria itu melingkarkan tangannya yang tengah memegang pisau ke leher ibu berjilbab itu. Lalu ia telentangkan ibu itu ke tanah. "Serahkan hartamu!" pekiknya.

Spontan ibu muda itu menangkis tangan pria samar-samar itu. Cresss... Jari telunjuknya sedikit teriris. Rupanya di tempat ia mengaji, ibu ini diajari karate. Dengan sigap, ia tendang pria itu. "Tolong...tolong...!!!" teriaknya keras-keras. 

Pria yang mulanya hendak mencuri motornya itu langsung panik. Ia ngibrit lari ke lorong pasar, keluar lewat pintu samping, arah jalan raya. Sayang, mas yang jualan hik di depan pasar kehilangan jejak saat hendak mengejarnya.

Kejadian ini tentu membuat heboh antero pasar Paldaplang, Sragen, esok harinya. Pasalnya, baru kali ini ada orang jahat yang berani nodong pakai pisau. Maling banyak. Tapi kalau nodong, ya baru kali ini. Padahal sebelum ada kejadian ini, saya dan dua anak saya biasa lewat di gang pasar bila ingin membeli sate ayam di pinggir jalan raya. Pun saat sudah remang pun, saya cuek saja lewat sini. Ya, karena jalannya halus, lain jika memilih jalan lain, terkadang anak saya akan kesandung karena ada batu di sana-sini.

Saat lewat jalan ini, sesungguhnya saya juga membayangkan. Bagaimana jika ada orang jahat, iseng, atau gila yang menghadang kami? Ternyata bayangan saya dialami oleh ibu lain. Setelah kejadian ini, suami langsung ngelarang saya lewat jalan ini. Mungkin saya berani menghadang mereka (serius? :p), tapi karena ngegendong si kecil, akan dikemanakan bocil-bocil ini saat emaknya tengah bertempur melawan si orang jahat, iseng atau gila ini? :D

Lain cerita dari emak kalem, tetangga saya. Satu hari, ia beli tahu ke tetangga samping rumah. Ini sebetulnya yang jualan istrinya, tapi saat itu yang melayani suaminya. Pria tua yang saya taksir usianya sudah 65 tahun itu rupanya termasuk kakek-kakek kegatelan. Masa' iya ngasih uang kembalian saja tangannya ngelus-ngelus punggung tangan si emak berjilbab ini. Dan kagetnya lagi, tangannya sekilat langsung meraih bagian (maaf) dada emak satu anak ini. Kontan ia pucat pasi. Dua kakinya langsung lari keluar rumah sembari menahan tangis. Sehabis di rumah, ia ngadu ke suami. Dan sukses bikin suaminya ngasih hadiah pukulan keras ke simbah nggak tahu diri itu. Good job! :D

Andai itu saya, mungkin kakek mesum ini sudah babak belur. Hahaha. Yang saya herankan, si emak ini jilbabnya nggak mini lho. Pakaiannya juga nggak mepet. Dia kalem pula. Kok bisa-bisanya si kakek ini masih kegatelan juga?

Saya pernah nyenyumin kakek bertubuh pendek ini. Ya, itung-itung sebagai sapaan karena masih tetangga. Oh, no! Dia membalas dengan senyum menggoda. Saya baru ingat dengan cerita si emak kalem itu. Allahu Rabbiy... Umur tua ternyata tak cukup mampu membuatnya insaf. :(

Dari dua kejadian ini, rasanya penting sekali bagi seorang emak erte belajar ilmu beladiri, entah karate, entah taekwondo, atau apalah namanya. Cuman yang jadi hambatan bagi seorang emak erte adalah; waktu dan tempat!

Ya, secara doi sudah dibuntuti bocil-bocil. Kalau diajakin sekalian? Yakin nih, nggak rewel? Apalagi kalau saya, anaknya belum genap sepuluh bulan, bisa repot ini. Hihihi.

Sumber gambar : ummi online


Tapi seenggaknya saya bagikan beberapa cara agar kita, para emak erte ini, aman dari gangguan mereka.

Pertama, jaga tutur dan sikap. Jangan sampai tutur, sikap dan perilaku kita mengundang mereka yang lain jenis buat ngegodain emak-emak erte macam kita. FYI, mahmud sekarang malah kayak jadi kembang lho! :D

Kedua, kenakan pakaian yang lebar. Jangan pakai baju yang mepet, yang bentuk lekuk tubuhnya kelihatan. Biar sudah berjilbab, tapi kalau yang dikenakan serba mepet tur mini? Ini juga mengundang dari hal-hal yang nggak kita inginkan lho. :)

Ketiga, tunjukkan kalau kita seorang emak tangguh, jangan perlihatkan kelemahan kita. Saya mensinyalir, kenapa si emak kalem yang bahkan pakaiannya saja tidak menggoda, diganggu oleh si kakek hidung belang itu. Ya, sebabnya karena ini. Karena kelihatan lemah, makanya mereka berani ganggu. So, tunjukin kalau kita emak tangguh!

Keempat, belajar dari film action atau laga juga boleh. Saya pernah narik kerahnya copet setelah sebelumnya tangan saya tak sengaja bersentuhan ketika akan mengecek HP di dalam tas. Inspirasi saya ya di film action. :D Sewaktu kecil dulu saya memang senang main silat-silatan dengan teman-teman saya, efek nonton karate di pinggir kali pas sore hari. Jadi kalau ada orang jahat atau iseng? Hap, hap, hyakk! (Kok, malah kayak nangkep cicak? :D) FYI ya, Mak. Pas saya narik kerah si pencopet ini rupanya menginspirasi teman Facebook saya yang niru gaya saya. Kalau saya bilang, "Mana HP-ku?", dia bilang, " Mana dompetku?" Padahal si emak erte ini sebetulnya nggak yakin amat kalau dia copetnya. Berkat keberaniannya narik kerah bajunya, dompetnya tetiba jatuh sendiri. Prok...prok...prok, tepuk tangan dong buat emak-emak erte ini! :D

Kelima, ikut kursus beladiri. Kalau seumpama di lingkungan dekat tempat kita tinggal ada kursus macam ini, nggak ada salahnya ikutan. Minimal ilmu dasarnya kita dapat. Syukur-syukur yang biayanya murah (maklum, emak perhitungan :D). Mupeng berat deh, dengan emak yang berani nangkis pisau karena doi diajarin ilmu beladiri dari tempat pengajiannya. Coba kalau di tempat pengajian saya ada. Mungkin bisa diusulkan kali ya. Kan, emak erte juga riskan diganggu oleh orang jahat, iseng atau siapapun mereka.

Oke, segitu dulu dari saya. Minimal empat poin diatas kalau kita lakukan, insyaAllah bakal aman. Baiknya lagi kalau poin lima juga dikuasai. Cuman repotnya kalau lagi gendong si kecil. Hm, mungkin bisa kita umpetin dulu di balik tembok kali ya. :D

Minggu, 12 Juni 2016


Sumber gambar : dzulfikaralala.com

Kabar soal ibu penjual warteg yang dirazia oleh satpol PP di Serang, Banten, memang menyita perhatian publik khususnya netizens beberapa waktu belakangan ini. Sebetulnya, berita seperti ini bukan hal baru terjadi. Dalih untuk menghormati bulan puasa, beberapa daerah memang mengambil kebijakan, menghimbau atau bahkan sampai melarang para penjual warteg untuk tidak buka selama bulan puasa.

Saya tidak mau membahas lebih lanjut soal kasus ibu penjual warteg yang membuat heboh jagat sosial media ini. Fokus saya adalah pemahaman kita tentang arti menghormati dan menghargai.

Saya tanya sekarang. Apa dengan warteg tutup itu artinya sudah menghormati orang-orang yang berpuasa? Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak berpuasa?

Perlu kita tahu bahwa yang wajib berpuasa adalah orang-orang yang beriman, sebagaimana Allah firmankan dalam Qs. Al-Baqarah 183 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Mereka yang tidak beriman (non muslim), jelas tidak termasuk dari orang yang wajib berpuasa. Karena tidak berpuasa, bagaimanapun mereka juga butuh makan. Mungkin ada banyak dari mereka yang tidak sempat memasak sendiri atau membawa bekal dari rumah. Bisa dibayangkan, jika mereka yang tidak wajib berpuasa ini seolah dipaksa untuk ikut berpuasa, dengan dalih untuk menghormati mereka yang berpuasa.

Saya jadi ingat saat teman kuliah saya yang non muslim mengeluh karena di jam 10 pagi dia belum sarapan lantaran warteg di belakang kampus, semua kompak tutup. Ah, inikah yang namanya menghormati? Kita menuntut dihormati, tapi bagaimana dengan mereka? Jika begini, bukankah ini gangguan namanya? Seolah Islam itu jahat, egois, intoleren dsb. 

Rasulullah Saw bersabda, "Mudahkanlah jangan mempersulit, gembirakanlah jangan menjadikan orang lari (takut), dan tenggang rasalah jangan berselisih (bertengkar)." (HR. Muslim juz 3, hal 1359)

Inilah indahnya Islam. Meski kita berpuasa, bukan lantas memaksa mereka yang tidak berpuasa untuk ikut "berpuasa". Puasa itu soal urusan kita dengan Allah. Betapapun kita melihat mereka menikmati makanan di warteg tak meruntuhkan niat kita berpuasa. Ya, karena bagimu agamamu, bagiku agamaku. 

Perlu kita tahu juga bahwa ada dari saudara-saudara kita yang muslim yang tidak berpuasa karena alasan yang dibenarkan agama. Siapa saja mereka? (Sumber: brosur kajian Ahad pagi, silahkan download disini)

1. Mereka yang boleh tidak berpuasa dan wajib mengganti di hari yang lain: orang yang sakit yang mana jika tetap berpuasa akan menambah berat atau memperlambat kesembuhan dan musafir. Allah berfirman yang artinya, "...Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain..." (QS. Al-Baqarah 184)

2. Mereka yang boleh tidak berpuasa dan hanya mengganti fidyah : wanita hamil, menyusui, orang lanjut usia, orang yang pekerjaan berat dan orang sakit menahun.

3. Mereka yang wajib tidak berpuasa dan wajib mengganti dengan puasa di hari lain : wanita haid atau nifas.

Selain ketiga orang diatas masih ada anak-anak yang belum baligh yang belum wajib berpuasa. Artinya, mereka yang tidak berpuasa bukan hanya yang non muslim saja. Mereka pun jelas juga butuh makan. 


Penjual nasi di pasar dekat tempat tinggal saya, dulunya pas bulan puasa semua akan libur, tidak jualan. Sejak ada warga ngaji--sebutan saudara sesama pengajian di tempat saya mengaji--yang memulai berjualan nasi saat bulan puasa, kini ada dua penjual nasi yang ikut berjualan juga. Mulanya, mereka yang jualan makanan ketika bulan puasa ini dianggap tidak elok. Tapi sekarang, orang tampak lebih bijaksana karena sadar betul jika ada dari mereka yang tidak puasa karena alasan yang dibenarkan agama. 

Penjual nasi di Pasar Paldaplang, Sragen, tetap berjualan di bulan puasa.

Seperti tahun lalu, saya juga terpaksa tidak berpuasa karena hamil. Awalnya saya kuat berpuasa, tapi setelah berbuka, tubuh saya justru rasanya gemetaran, kepala pusing jika berdiri, dan mata berkunang-kunang. Ini bahkan masih saya rasakan selama dua hari setelah saya tidak ikut berpuasa dan membayar fidyah. Terbayang repotnya saya andai penjual nasi di pasar libur jualan, bukan? Ya, karena saya hanya memasak pas sore hari. Berkat mereka, saya bisa membeli dua bungkus nasi untuk pagi dan siang, dan bubur untuk anak saya.

Pas kuliah dulu, saya dan teman saya yang sedang haid juga merasa lapar pas jam makan siang. Waktu itu, kami hendak pulang selepas menghadiri kajian di Kemlayan, Solo. Saat jalan keluar dari tempat kajian, kami tahu ada penjual mie ayam--warga ngaji juga--tengah mempersiapkan dagangannya setelah sebelumnya ditinggal mengikuti kajian. 

Saya saling pandang dengan teman saya. "Aku lapar..."

"Aku juga..." jawabnya. "Gimana kalau beli mie ayam itu saja, kan ada tendanya," lanjutnya.

"Nggak malu?" tanya saya.

"Kenapa malu? Toh, kita memang wajib tidak berpuasa dan kita lagi lapar," tegasnya.

Akhirnya kami makan disitu, karena jika kami makan di rumah, butuh waktu kurang lebih 1,5 jam lagi. Itupun bila di rumah ada makanan. Jika tidak ada?

Puasa untuk Mencari Ridha Allah, bukan Karena Manusia


Ada satu tulisan teman di Facebook yang cukup membuat saya ingin berkomentar lebih jauh. Bukan saya tidak menghormati pendapatnya. Tapi saya hanya menyampaikan apa yang menjadi pemahaman saya.

Dia berpendapat bahwa dengan semua warteg tutup, maka akan 'memaksa' mereka yang notabene orang Islam tapi ogah menjalankan kewajiban puasa, untuk ikut berpuasa. Contoh yang terjadi di Serang, Banten ini, karena disinyalir ada banyak orang Islam yang tidak menunaikan ibadah puasa mengingat Serang adalah Kota Santri.

Bahkan, penjual warteg yang nekat buka di siang hari saat bulan puasa ini disebut sebagai orang yang menolong kemungkaran. Ah, mungkin dia lupa, jika disana juga ada orang Islam yang tidak berpuasa karena alasan yang dibenarkan agama seperti yang saya sebut diatas. Andai ada banyak dari mereka, orang Islam KTP, yang tidak berpuasa tanpa sebab apapun, apa dengan menutup semua warteg adalah solusi agar mereka mau berpuasa?

Kita berpuasa karena mencari ridha Allah SWT. Jika hanya karena manusia, lalu dapatnya apa? Hanya lapar dan haus saja. Padahal tujuan berpuasa itu untuk mencapai takwa.

Jika dengan 'memaksa' mereka (baca: orang Islam KTP) ikut berpuasa--dengan menutup semua warteg--akan membuat mereka tersadar sehingga dengan kerelaan sendiri akan menunaikan ibadah puasa, betulkah  begitu? Bagaimana jika sebaliknya?

Islam itu lembut. Saya ibaratkan mereka yang Islam KTP ini bagaikan kaca yang berdebu. Jika kita mengelapnya dengan keras bahkan sampai mengetok-ngetok, kaca bisa saja pecah. Namanya juga Islam KTP, artinya pemahaman mereka masih sangat kurang tentang tuntunan Islam, maka tugas kita menyebarkan dakwah dengan kelembutan.

Allah berfirman yang artinya, "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu..." (Qs. Ali Imran 159)

Dalam Surat lain Allah juga berfirman yang artinya, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (Qs. An-Nahl 125)

Mari, bijaksanalah kita menyikapi perbedaan. Saya hanya berusaha menyampaikan apa yang menjadi pemahaman saya. Tak perlu diperdebatkan lebih lanjut. Saya harap, kita bisa saling menghargai perbedaan pendapat ini. Wallahu a'lam bishawab.

Rabu, 08 Juni 2016



Kalau kita bicara hitung-hitungan, bulan Ramadhan itu harusnya lebih ngirit ya? Kan, jatah makan siangnya absen sebulan? Tanya kenapa yang terjadi justru malah sebaliknya? Bahkan jauh lebih membengkak dari bulan-bulan sebaliknya?

Harus saya akui, berhemat saat Ramadhan itu bukan perkara yang mudah. Susah banget malah. Ada banyak sebab kenapa kita jadi jor-joran saat bulan puasa. Apa itu?

Pertama, ada anggapan sebagai ganti jatah makan siang. 

Nah, ini dia biang pertama. Jatah makan siang yang sebulan libur ini biasanya dialihkan untuk membeli bahan makanan yang dinilai lebih enak agar selera makan saat sahur maupun berbuka makin bertambah. Misalnya, lauk ayam yang biasanya seminggu sekali, pas puasa mungkin bisa 3 kali/minggu. Belum hari lain diganti dengan aneka jenis ikan dan juga telur. Tahu tempe? Doi disuruh piknik dulu! :D

Kedua, ajang 'balas dendam'. 

Seharian menahan haus dan lapar membuat kita seolah 'dipaksa' oleh si nafsu keinginan untuk 'balas dendam' menyajikan hidangan istimewa saat berbuka. Nggak heran ya, hanya buat es buah saja isinya bisa lebih dari enam macam. Buah minimal tiga jenis, masih ada janggelan, rumput laut, cendol bahkan nata de coco. Mana masih beli kolak yang dijual di pinggir jalan. Plus gorengan! Alamak, perut masih muat, Mak?

Hihi, jadi ingat iklan susu krimer di tipi yang anaknya kemecer ngelihat emaknya buat es buah. Yang lain cuman dapat segelas kecil, dia dikasih semangkok ukuran jumbo. Hadehh...ini iklan pembodohan tau'! Ngajarin berlebih-lebihan. Pfff... :p

Ketiga, nggak nyadar kalau pengeluarannya meledak!

Yup, ini juga jadi penyebabnya. Beli gorengan sebiji hanya seharga 500. Kolak sebungkus seharga dua ribu, bahkan kadang ada yang harga seribu. Isian es buah kalau beli di pasar per bungkus seharga seribu (kayaknya, saya juga nggak pernah beli, hahaha).

Kelihatannya mumer ya. Coba kalau dikalkulasi. Hanya untuk takjil saja bisa jadi habis 30 ribuan lho! Orang beli gorengannya 10 biji, kolak 4 bungkus, es buah nekat bikin sendiri, habis 17 ribu. Ini belum dihitung dengan pengeluaran untuk nasi, lauk dan sayurnya. Total saja sendiri! ;)

Keempat, harga bahan pokok yang mahal.

Emang sudah wajar sih, kalau pas Ramadhan tiba, harga bahan pokok pada naik gunung. Harga daging sapi, daging ayam, dan juga telur biasanya ogah turun pas bulan ini. Sayuran dan buah pun juga begitu. Malah kadang karena stoknya sedikit, penjual pada naikin jadi dua kali lipat dari harga sewajarnya. Pun halnya dengan harga-harga bumbu dapur.

Bagi saya pribadi, poin nomor empat inilah yang jadi sebab utama mengapa pengeluaran agak sedikit lebih melar dari bulan biasanya. Pas bulan puasa, saya memang sering membeli lauk dari protein hewani (saya lebih milih ikan ketimbang daging ayam karena lebih murah dan sehat) dengan dipadukan protein nabati. Tapi, ini tidak terlalu membuat pengeluaran makin gemuk. Malah, dengan uang 25 ribu yang saya bawa ke pasar, sudah dapat aneka macam bahan makanan, bahkan masih sisa dua atau tiga ribu.

Mau tahu caranya kayak gimana? Simak deh tip dari saya berikut ini.

1. Buat anggaran untuk belanja ke pasar.

Saya paham betapa repotnya seorang emak erte yang sudah dibuntuti bocil-bocil dengan tetek bengek pekerjaan rumah tangganya. Untuk membuat anggaran per pos kebutuhan, saya jamin, mereka nggak punya waktu dan pikiran untuk membuat anggaran keuangan rumah tangga dengan cermat dan teliti. Saya pun sekarang sudah tak begitu jeli lagi membuat anggaran pengeluaran per bulan.

Untuk itulah, saya tawarkan tip ini. Bagaimanapun, kelemahan kita adalah saat melihat aneka barang dan makanan di depan kita. Kita makin belingsatan saat tahu di kantong ada banyak uang yang kita bawa. Saya yang emak perhitungan ini nyatanya juga begini, gampang lupa diri saat bawa uang banyak. :D

Akhirnya saya putuskan untuk membuat anggaran tetap saat saya pergi ke pasar. Tetapkan berapa kira-kira jumlah uang yang cukup untuk belanja dapur. Ambil rata-rata. Kalau saya Rp. 25 ribu/hari. Setiap saya ke pasar, saya hanya pegang uang sebanyak ini.

Setelah saya praktikkan, ternyata membantu sekali. Biasanya saya akan putar otak untuk memilih bahan makanan yang komplit gizinya, tapi bisa pas atau bahkan sisa. Misalnya hari ini saya beli lauk ikan patin 1/2 kg seharga 10 ribu, maka biar nanti cukup saya biasa memilih sayuran dan buah yang harganya lebih murah.

Karena sering ke pasar, saya sudah tahu pedagang mana yang menjual dengan harga yang lebih murah, tanpa harus nawar (karena saya nggak bisa nawar hahaha), dan barang juga masih bagus. Kadang selisih harga bisa seribu atau dua ribu lho. Lumayan buat beli jenis sayuran lain.

Jika sisa, uangnya akan saya masukkan ke toples. Sisa uang ini kalau makin terkumpul akan bermanfaat sekali untuk tambahan buat beli beras. Saya biasa beli beras tiap 5-6 hari sekali. Kalau beli beras ya, tetap dianggarin 25 ribu, dengan tambahan uang sisa tadi.

Dengan uang Rp. 25 ribu saya sudah dapat aneka macam bahan makanan segini banyak lho.

2. Qona'ah dengan apapun dan  bagaimanapun makanan yang dimakan.

Ini penting banget! Saya biasa ngirit bumbu ketika harga bumbu dapur pada meroket. Terkadang saya terpaksa meniadakan jika sekiranya bumbu tersebut bisa diwakili yang lain. Kayak harga bawang merah beberapa waktu lalu yang mahal.

Saya nekat bikin tumis sayuran hanya pakai bawang putih dan aneka cabe. Hasilnya? Ya, kalau kita numisnya lama, dengan api kecil, rasanya sudah enak kok. Itu kalau lidah saya yang ngerasain. Kalau tetua mungkin lain lagi. :D Untungnya suami nggak terlalu peka rasa, jadi doi fine-fine saja. :p

Kalau harga cabe yang naik, saya akan memasak menu makanan yang nggak perlu bikin sambal. Karena cabe itu penambah selera makan, ya bikin masakan semacam tumis, asem-asem (FYI, saya nggak terlalu ngerti nama masakan. Selama ini saya masak yang ada di pikiran saya saja. Lah?! :p)

Kalau cabe lagi mahal, saya bikin masakn simpel kayak gini.

3. Masak sendiri!

Ada anggapan kalau beli itu lebih ngirit. Saya kok nggak sependapat dengan ini. Memasak sendiri itu jelas lebih ngirit, sehat dan hiegienis. Ingat dulu pas di kampus, saya beli nasi di warung. Di dalam nasi oseng itu ada apa, saudara-saudara? Kecoak! Ngirit? Perutnya sakit, ngirit? :D

4. Tetap mementingkan kecukupan gizi harian.

Biarpun girit, kebutuhan gizi harian tetap harus diperhatikan. Dengan uang 25 ribu, saya sudah bisa beli aneka macam bahan makanan lho, Mak. Misalnya kemarin, saya beli lele 1/2 kg (Rp. 10.000), labu kuning 2 potong (2 ribu), cabe tomat (2 ribu), terong bulat 2 bungkus (1,5 ribu), sayur sop sebungkus (1 ribu), salak 1/2 kg (3 ribu), sayur asem sebungkus (500), jagung manis 2 buah (2,5 ribu).

Sudah komplit, gizi seimbang, dan mumer kan? Masih sisa pula! Bahan sebanyak ini terkadang ada yang buat stok buat besoknya. Karena di kulkas masih ada telor ayam kampung, makanya saya hanya beli lele setengah saja tanpa ada tambahan protein nabati. Emaknya lele, anaknya telur. :D

5. Kombinasikan dengan bahan lain yang harganya murah.

Pas puasa, mungkin kita butuh lauk yang sedikit istimewa dari biasanya. Ya, mungkin alasannya untuk menambah selera makan. Nah, biar istimewanya ada tapi nggak bikin kantong ceking, saya biasanya membeli bahan yang mengandung protein hewani hanya seberapa. Agar kebutuhan protein harian tercukupi, saya tambah dengan protein nabati (tahu tempe). Biar nggak bosan, variasikan masakan, mungkin dibikin kentucky, digoreng bulat, dimasak tongseng dan sebagainya.

6. Jangan berlebih-lebihan dan prioritaskan pada kebutuhan yang lebih penting dan ada manfaatnya.

Segala sesuatu yang berlebih-lebihan itu jelas tidak baik. Allah berfirman yang artinya, "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al Isra' 27)

Kayak bikin es buah misalnya. Isiannya saja bisa lebih dari enam jenis. Sirup sudah manis, masih ditambah gula dan krimer. Kalau hanya sekadar memuluskan keinginan seminggu atau sebulan sekali sih masih wajar. Kalau tiap hari? Mana janggelan, cendol dsb nggak ada gizinya kan? Apa nggak lebih baik dialokasikan untuk beli bahan makanan lain yang lebih bergizi?

Mana masih beli kolak, es degan dan es cincau. Kalau ini mah berlebih-lebihan namanya. Kasihan sama si perut. Doi sakit, kita juga yang bakalan merintih. Paham? :)

Ingat lho, hakikat puasa itu tak hanya sebatas menahan lapar dan haus saja. Menahan diri dari nafsu konsumtif juga termasuk tuh! Maka, berhemat saat Ramadhan adalah momen yang tepat untuk melatih diri agar kita dapat terhindar dari perilaku yang berlebih-lebihan. Semoga bermanfaat.

Jumat, 03 Juni 2016




Sebagai orangtua, kami memang tidak memanjakan anak-anak dengan beragam mainan. Mungkin mainan mereka bisa dihitung dengan jari, itupun lebih banyak karena diberi kerabat. Ketika banyak orangtua selalu memuluskan keinginan anaknya, kami tidak begitu. Bahkan terkadang malah kelewat tega jika dibandingkan orangtua pada umumnya.

Anak-anak saya juga tidak mengenakan baju-baju branded. Harga baju mereka bahkan tidak lebih dari Rp. 40 ribu. Baju adiknya malah ada yang seharga Rp. 9 ribu. Mereka juga sering dapat baju lungsuran, pemberian saudara yang sudah tidak muat lagi.

Kami memang bukan orangtua dari golongan menengah ke atas. Kami juga tipikal ortu yang sangat perhitungan (baca: pelit :D), terutama untuk membelikan baju-baju mahal bila mempertimbangkan tubuh mereka yang tumbuh dengan cepat. Kami juga jarang sekali membelikan beragam mainan, sedang mereka sendiri cenderung cepat bosan, bahkan malah nyari barang-barang lain untuk dijadikan mainan sendiri.

Dan jujur saya katakan, sampai detik ini, anak-anak saya belum pernah sekalipun naik komedi putar, kereta kelinci dan sebagainya. Padahal dulu sebelum adiknya lahir, saya sering mengajak si kakak jalan-jalan ke alun-alun kota. Di sana kami hanya jadi penonton doang. Kadang dia berlarian kesana kemari atau naik tangga untuk pijakan ke panggung. Setiap hari kereta kelinci juga selalu lewat di depan rumah. Hanya bayar 2 ribu saja, sungguh teganya sampai anak saya belum pernah naik. Hahaha.

Mungkin kami sesekali mampu jika hanya mengajak anak-anak main pancing-pancingan, naik kereta kelinci atau komedi putar yang masing-masing hanya bayar Rp. 5 ribu. Tapi bukan ini sesungguhnya yang ingin saya sampaikan kepada mereka. 

Bahagia itu Sederhana, Oleh-oleh Istimewa Masa Kecil


Masa kecil saya adalah masa penuh petualangan. Setiap pagi saya bermain ke pinggir sungai, mencari macam-macam belalang untuk dipindahkan ke taman buatan di benggangan rumah (letaknya di tengah sebagai penghubung antara rumah satu dengan lainnya, tanpa ada atap). Sepulang sekolah saya ikut dengan teman-teman menggembalakan kambing peliharaan orangtua mereka ke sawah, dekat jembatan, atau ke kuburan. Kami bercerita seru, bermain bekejar-kejaran, hingga bernyanyi bersama.

Bersama merekalah saya tahu bahwa bahagia itu sederhana sekali. Saya ingat bagaimana teman kecil saya rela beradu maut demi menyelamatkan saya. Kambing jantan itu tiba-tiba ngamuk saat saya menaboknya keras karena ngambek tak mau jalan. Saya yang menunggangi punggungnya harus memeluk lehernya erat karena dia lari kencang sekali. Sementara teman-teman saya mengejar di belakang.

Saat sampai jalanan yang di pinggir kanannya ada jurang, satu teman kecil saya nekat melompat cepat, meraih tali kambing itu. Untuk menghentikan lajunya, dia harus terseret beberapa meter di jalanan yang berkerikil. Alhamdulillah, kambing berhenti. Saya selamat. Tapi dua tangan teman kecil saya lecet disana-sini. 

Jika melihat perjuangan mereka menyelamatkan saya, patut diacungi jempol bukan? Itulah salah satu didikan hidup dalam kesederhanaan, melahirkan sikap tolong menolong dan rasa empati yang luar biasa. Bukan sekali ini salah seorang dari mereka menyelamatkan nyawa saya. Saya pernah dua kali hampir tenggelam karena tidak bisa berenang, tapi tangan mereka sontak langsung menarik saya saat tahu saya terseret derasnya arus air saluran irigasi.

Masa kecil saya juga saya lewati dengan ikut membantu orang-orang yang mecahin batu kali ukuran kecil, nyari udang atau kerang di sungai, nyari bekicot di kebun-kebun tetangga, nyari barang rongsokan dengan menyisir lubang-lubang sampah, bantu teman nyari dedaunan untuk bungkus tempe unel, bahkan ikut nyari kayu bakar di tegalan. Saya melakukan itu hanya untuk bermain-main, sedang mereka untuk membantu orangtua. 

Tapi bersama mereka, saya belajar bagaimana rasanya mendapatkan uang dari jerih payah sendiri. Bahagia rasanya saya bisa mendapat uang dari jualan bekicot atau barang rongsokan, meski risikonya jemari saya harus disengat tawon. Hihihi.

Tentu, saya jelas tidak akan tega membiarkan mereka melewati seperti apa yang pernah saya lalui dulu. Tapi pelajaran 'bahagia itu sederhana' akan terus saya tanamkan pada mereka.

Sebagai ibu, bohong jika saya sampai setega itu pada anak. Naluri saya selayaknya ibu pada umumnya tetaplah ada. Saya juga ingin sesekali mengajak anak-anak naik kereta kelinci seperti anak-anak lainnya, meski mereka tidak meminta. Saya juga ingin membelikan beragam mainan seperti ibu-ibu lainnya. Ya, namanya juga ibu.


Tapi, sungguh saya dibuat takjub dengan anak saya yang pertama--karena adiknya baru sembilan bulan. Dia tidak pernah menuntut dibelikan mainan ini dan itu. Kalau sekarang (usianya sudah 3y5m) paling dia hanya minta dibelikan mainan yang sangat dia ingini seperti punya temannya. Itupun hanya satu mainan saja yang diminta. Dia percaya betul jika orangtuanya mengatakan setuju untuk membelikan, maka dia bisa mengerti andaikan tidak dibelikan sekarang. Mungkin bisa besok, lusa atau hari berikutnya lagi jika ada waktu sela.

Baca juga : Jadilah Ortu yang Jujur dan Amanah, Ayah Bunda...

Saat ke toko mainan, dia memang tak ubahnya seperti anak-anak lainnya, ingin dibelikan ini dan itu. Tapi dia tidak akan tantrum atau ngamuk saat bundanya tidak membelikan mainan itu. Dia akan sangat bahagia ketika barang yang diminta dibelikan.

Anak saya juga akan sangat bahagia meski hanya dibelikan baju seharga Rp. 18 ribu. Bahkan hanya diberi baju bekas pun dia sumringah. Setiap dia punya sesuatu yang baru (entah baru betulan atau baru dipakai) dia akan laporan kepada setiap orang yang dikenalnya. 

Dia diberi sepeda bekas yang bahkan sudah agak karatan saja sudah senang sekali. Saya jadi terpana ketika dia begitu percaya diri bermain dengan sepeda bekasnya ke rumah temannya, padahal sepeda temannya bagus sekali. Dia sama sekali tidak menuntut dibelikan sepeda seperti punya temannya. Karena pedalnya agak susah dikayuh, saya memang berniat membelikan sepeda baru untuknya, hasil dari uang jualan barang hadiah lomba. Entah kapan, seselanya, tapi dia bisa pengertian karena percaya bundanya insyaAllah akan membelikannya. Paling dia hanya terus bertanya, "Kapan aku dibelikan sepeda keranjang, Bunda?" sampai bikin kuping saya gatel karena dia terus bertanya. Hahaha.

Saat ada kereta kelinci lewat di depan rumah, dia akan lari keluar. Dengan tawanya yang lebar dia berseru kepada bundanya, "Bun, ada kereta kelinci!" 

Sesekali dia akan menggoda, "Aku naik itu ya, Bunda."

"Nggak. Naik itu rasanya kayak naik mobil omprengannya ayah kok. Ketimbang naik itu mending uangnya ditabung," tandas saya.

Dia manyun tak serius, sedetik kemudian dia ketawa lagi. Dan beginilah reaksinya saat ada eskrim seharga 2 ribu lewat dengan jingle khasnya. Karena lebih sering nggak dibelikan, dia hanya ngibrit keluar sembari ikutan nyanyi, "Es krim, es krim, dua ribu. Rasa strawberry, rasah mbayar..." Hahaha.

Apa dia terbebani dengan 'kepelitan' kami ini? Alhamdulillah nggak, Bun. Ini betulan lho ya. Bukan anggapan saya pribadi. 

Dia tahu betul jika ayah bunda menyayanginya. Pun saat keinginannya tidak semua dimuluskan. Pelajaran bahwa menunjukkan kasih sayang tidak melulu dengan membelikan hadiah, alhamdulillah bisa tertanam dengan baik. Jadi baginya dia tidak akan tantrum sekalipun makanan atau barang yang diminta tidak dibelikan. Agar dia paham, saya akan berusaha memberitahu alasan kenapa saya tidak membelikan makanan atau barang tersebut.

"Karena bahagia itu sederhana, Nak!" Inilah yang ingin saya tunjukkan kepada mereka. Kebahagiaan tak terbatas karena naik kereta kelinci atau komedi putar. Kebahagiaan tak harus dengan punya banyak mainan. Kebahagiaan tak melulu dengan membelikan yang baru atau bahkan yang mahal.

Ya, karena ia begitu sederhana sekali. Tergantung bagaimana kita mensyukuri hidup ini. Semoga nilai-nilai ini bisa ternanam di hati mereka, dan makin tumbuh subur hingga berbuah di kemudian hari. Amiin.
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!