Minggu, 17 April 2016

Menanti memang butuh kesabaran. Tak mudah melewati masa-masa ini. Kita yang terus dibombardir dengan pertanyaan kapan, kapan dan kapan, serasa seperti ketusuk duri, andai membawanya sampai ke hati. Desas-desus orang di belakang, bahkan sampai omongan miring seakan menambah rasa sakit itu.

Kita ingin menutup telinga, mengunci rapat hati agar tak sampai sakit hati, nyatanya itu sulit ditunaikan. Kita berusaha kuat, mencoba untuk tegar, tapi cibiran mereka benar-benar menyesakkan. Seperti sebutan perawan tua, mandul, atau apalah itu.

Inilah sesungguhnya ujian penantian itu, ujian yang mengocok-ngocok kesabaran kita. Dulu saya pernah menulis sebuah artikel berjudul, "Ujian Kesabaran Ibarat Menanti Hujan Reda". Saya terinspirasi dari postingan teman di Facebook saat ia menanti hujan reda usai shalat shubuh di masjid karena tidak membawa payung.

Menunggu saat menanti hujan reda jelas menyebalkan. Kita bahkan tidak tahu sampai kapan hujan akan reda. Jika nekat, akan basah kuyub. Jika menunggu, mau sampai kapan?

Andai tak sabaran, mungkin kita akan memaki hujan. Kenapa turun hujan di pagi buta? Mengapa tiba-tiba? Bahkan sebelumnya langit tidak tampak digelayuti mendung?

Ah, apa salah hujan turun tiba-tiba? Dia datang atas perintah-Nya untuk membasahi bumi. Tak peduli manusia menolak atau mencoba mendikte kapan datangnya. Karena dia patuh pada perintah-Nya, Allah SWT-lah yang telah menciptakannya, bukan manusia.

Sesungguhnya hujan itu adalah rahmat dari-Nya. Allah berfirman dalam QS. Al-A'raaf 57 yang artinya, "Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan)..."

Dalam Surat lain Allah juga berfirman, "Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak..." (QS. Al An'aam 99)

Dengan hujan, tanaman akan tumbuh lebat hingga menghasilkan buah di kemudian hari. Tanpa hujan, makhluk di bumi akan mati. Itulah sesungguhnya buah dari kesabaran. Allah berfirman, "Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl 96)

Kembali pada postingan teman yang menunggu hujan reda selepas menunaikan shalat shubuh di masjid. Andai dia mau bersabar, dia akan masuk ke masjid, memanfaatkan waktu menanti ini dengan qiroah, berdzikir, membaca buku yang ada disana dan sebagainya. Jika masih hujan, dia keluar, menikmati hujan, bermain-main sebentar dengan menengadahkan tangan sehingga rintik-rintiknya berloncatan di telapak tangan. Lalu dia merenung, memahami kekuasaan-Nya. Hingga tanpa terasa, hujan akhirnya reda juga. Dia pulang ke rumah tanpa basah kuyub, dengan oleh-oleh ilmu luar biasa dari penantian tadi.

Lain halnya jika dia gagal bersabar. Dia terus menggerutu. Khawatir jika hujan tak kunjung reda. Serasa lama. Karena tak sabaran, dia nekat menerebos derasnya hujan. Padahal rumahnya lumayan jauh. Dia rutuki nasibnya karena baju basah kuyub, kaki penuh pasir, kedinginan dan sebagainya. Dia makin memarahi hujan karena tak jua berhenti.

Begitulah gambaran dari penantian itu. Tinggal kita memilih terus bersabar atau merutuki nasib?

Saya juga pernah berada di posisi penantian yang mengubek-ngubek kesabaran, menunggu jodoh dan menanti buah hati. Saya tahu bagaimana rasanya berada di posisi ini. Mereka terus bertanya kapan, padahal kita tidak tahu jawabannya. Mereka kepo bertanya, "Udah isikah?". Kita hanya bisa menjawab ngocol, "Isinya ada banyak..." Lengkap dengan senyum yang sedikit dipaksakan.

Saya selalu percaya, Allah akan mempertemukan kita dengan jodoh di waktu yang tepat, menurut-Nya. Pun dengan hadirnya buah hati. Ketika Ia menilai kita siap, pantas, dan layak bertemu dengan seseorang yang dinanti, saat itulah Allah datangkan ia pada kita. Mungkin kita menilai telah siap dan pantas, tapi belum tentu menurut-Nya.

Andai saya menikah empat tahun lebih awal, bisa jadi saya kesulitan mencintai suami karena saat itu saya masih terkungkung dalam pemahaman cinta yang salah kaprah. Andai saya nekat nikah tiga tahun lebih awal, ketika itu saya masih gamang menatap pernikahan. Andai saya menikah dua tahun lebih awal, boleh jadi saya akan menjelma menjadi ibu-ibu penggemar sufor dan hobi nyekokin anak dengan aneka junkfood. Andai saya menikah setahun lebih awal, mungkin saya akan meninggalkan anak-anak untuk bekerja di luar rumah.

Sungguh jalan-Nya sangat indah, teman. Saya tidak pernah berdoa untuk disegerakan jodohnya, tetapi jika saya dinilai oleh-Nya telah siap, pantas dan layak untuk menjadi istri, saya mohon kepada-Nya untuk mempertemukan saya di masa itu. 

Selama masa penantian itu, Dia banyak memberi petunjuk kepada saya. Dia tempatkan saya pada profesi yang kelak bisa jadi bekal saat menikah nanti. Saya siaran gizi bersama narsum sekaligus sahabat di bidang gizi. Saya juga jadi redaktur majalah yang mengharuskan saya membaca semua naskah yang masuk. Saya menulis belasan halaman di setiap edisinya. Karena profesi ini, saya harus rajin membaca, menggali ilmu lebih banyak lagi.

Setahun sebelum menikah, saya dihadiahi oleh Allah sebuah kecelakaan. Karena kondisi kaki yang belum stabil, untuk sementara saya tinggal di asrama. Niatnya sebetulnya hanya sementara, tapi karena ada banyak pelajaran berharga disana, saya bertahan sampai menikah. 

Di asramalah, saya mengenal banyak karakter anak-anak asrama. Menyadarkan saya, betapa ibu sangat berperan penting dalam pendidikan anak-anaknya. Karena inilah, saya harus bersama anak-anak kelak.

Pun, dengan hadirnya buah hati. Allah sedikit menunda memberi amanah buah hati, karena Ia ingin memberi kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan amanah pekerjaan yang belum maksimal ditunaikan. Karena saya sudah berazzam, jika saya jadi ibu, saya akan resign. Saya juga diberi kesempatan untuk belajar menjadi ibu, sedikit lebih lama lagi, sebelum saya benar-benar dipercaya menjadi ibu.

Karena pernah di posisi ini, saya jadi lebih memahami mereka yang dalam masa penantian. Biarpun tidak kenal, biasanya saya akan mendoakan mereka dalam diam. 

Inilah hikmah di balik penantian itu. Percayalah, meski terasa getir, sesungguhnya ada kebaikan di sana. Karena Dia tahu yang terbaik bagi kita, untuk yang lalu, saat ini, dan juga nanti.
Categories: ,

2 komentar:

  1. "Pun, dengan hadirnya buah hati. Allah sedikit menunda memberi amanah buah hati, karena Ia ingin memberi kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan amanah pekerjaan yang belum maksimal ditunaikan. Karena saya sudah berazzam, jika saya jadi ibu, saya akan resign. Saya juga diberi kesempatan untuk belajar menjadi ibu, sedikit lebih lama lagi, sebelum saya benar-benar dipercaya menjadi ibu".

    Kalimat ini membuat saya untuk lebih ikhlas dan pasrahkan semuanya. Karena hanya ALlah-lah penguasa langit dan bumi, dan hanya satu2nya yang bisa meng-ijabah semua doa dan ikhtiar kita.
    postingan yang bagus banget Mbak..utk kita selalu ingat sama sang Pencipta.

    Salam kenal dan salam persahabatan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mbak. Amiin. Salam kenal kembali. Percayalah bahwa skenario Allah itu indah dan insyaAllah yang terbaik bagi kita mbak. :)

      Hapus

Mohon maaf komentarnya saya moderasi. Hanya untuk memastikan ada komentar dan komentarnya sopan. Terima kasih. :)

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!