Pages - Menu

Jumat, 13 November 2015

Resign Karena Panggilan Jiwa Menjadi Ibu

"Kenapa mbak mau meninggalkan pekerjaan lalu jadi ibu rumah tangga yang sekarang stay di rumah?" tanya seorang teman via inbox di Facebook kala itu. Saya tidak menjawab langsung. Jawaban saya sengaja saya posting untuk publik agar jadi pembelajaran bersama. Dan kali inipun saya juga memuatnya disini.

Apa alasan saya? Jujur saya katakan, awalnya sayapun tidak tahu pasti alasannya. Resign dari pekerjaan dan sekarang cuman jadi ibu erte yang 24 jam penuh bersama suami dan anak-anak benar-benar tidak pernah saya bayangkan dulu. Bahkan, ketika itu, saya malah ogah membayangkan seperti apa kehidupan rumah tangga, mengurus suami dan anak-anak.

Saya ini orangnya egois, maunya menang sendiri, ngeyelan, saya tomboy, suka melakukan sesuatu yang gak biasa, senang melawan arah dan tidak memikirkan perasaan orang lain. Dengan kepribadian saya yang buruk ini, saat itu doa yang selalu saya panjatkan adalah, "Ya Rabb, pertemukanlah aku dengan jodohku ketika aku Engkau nilai siap menjadi istri. Entah kapan itu. Engkau Yang Maha Tahu."

Saya pernah dalam masa yang: tidak ingin memikirkan pernikahan (untuk sementara waktu). Berkali-kali saya diminta mengirimkan cv, tapi saya enggan membuatnya. Ada teman yang mencoba menta'arufkan saya, jawaban saya hanya, "Pliss...jangan saya."

Pada akhirnya saya sembuh dalam kegamangan saya menatap pernikahan. Itupun karena Allah menyadarkan saya lewat ujian-ujian yang berharga itu. Dan singkat cerita, saya menikah setelah dua tahun lebih 9 bulan pasca lulus kuliah.

Lalu setelah menikah apa saya langsung resign? Tidak. Saya masih menjalani hari-hari biasa seperti semasa single dulu karena saya pun tidak dilarang suami meski saya aktif di luar rumah. Bedanya, saya lebih sering diantar jemput suami.

Saya baru memutuskan resign setelah (akan) diamanahi menjadi ibu. Kenapa harus resign? Saya pikir itulah panggilan jiwa.

Saya menyadari ketidaklihain saya menjadi ibu, seperti yang didengungkan oleh kebanyakan orang. Apalagi pekerjaan saya ada di banyak tempat. Dan itu membutuhkan konsentrasi penuh. Kalau sudah dikejar deadline, akan ada banyak orang yang saya cuekin.

Saya pikir, jika saya terus seperti ini, bagaimana dengan keluarga saya? Lebih-lebih jika sudah ada anak.

Kata orang, anak itu gurunya sabar. Saat bersamanya kita benar-benar dilatih olehnya bagaimana menjadi ibu yang sabar. Saya tidak bisa membayangkan jika saya tetap bekerja dengan segudang pekerjaan sekaligus mengurus anak. Sabarkah saya?

Ini saja, saya yang sudah resign, sesekali tak sabar menghadapi anak yang rewel sampai keceplosan memarahinya. Apalagi jika saya belum resign? Seperti apa jadinya saya?

Lewat perjalanan waktu, saya jadi tahu kenapa saya harus membersamainya, terutama di masa emasnya. Mungkin alasannya adalah pelajaran-pelajaran yang sudah saya bagikan di fb.

Bukan hanya aqidah, saya juga harus menanamkan nilai-nilai kebaikan padanya. Belajar amanah, berlaku jujur, disiplin, percaya diri, bersosialisasi, bersyukur dengan apa yang dia punya, dsb.

Kadang saya jadi mikir sendiri. Ah, bagaimana jadinya anak saya andaikan saya tidak bersamanya? Pernah di usia 7 atau 8 bulan, saya sejenak diajak ngomong dengan seseorang. Hanya beberapa detik luput dari perhatian, saya menangkap ada yang ganjil di mulutnya. Dia terlihat seperti mengunyah sesuatu.

Tangan saya buru-buru merogoh ke dalam mulut. Benar, ada sesuatu! Dia mengunyah peniti! Ya Rabbiy...

Kadang saya juga bertanya-tanya sendiri. Bersama ibunya saja ada keceplosan memarahinya, bagaimana jika dia bersama pengasuh? Ada anak tetangga saya, katanya, hanya minta pipis saja dia dibentak, kadang ditabokin. Ketahuannya ya pas ibunya pulang awal waktu. Pernah juga saya melihat ada pengasuh yang tengah menyuapi si bayi. Wow, mulut masih penuh bubur, langsung disuapi lagi, disuapi lagi! Sampe mulutnya muncu-muncu! Hehehe.

Maka, saya pikir, resign adalah keputusan yang tepat bagi ibu macam saya.

Ada yang tanya, apa kamu tidak sayang meninggalkan pekerjaanmu?

Wah, bukan hanya sayang. Sangat berat sekali memutuskan untuk meninggalkan. Apalagi pekerjaan saya dulu adalah perjuangan.

Saya sampai mengulur-ulur waktu untuk mengajukan resign. Setiap kali saya hendak mengutarakan ini, pimpinan lebih dulu bilang, "Makanya kamu harus tetap disini. Kita harus berjuang."

Bahkan saat dia tahu saya mau keluar, dia malah mengiming-imingi saya menempati posisi tertentu yang kosong sebagai full timer. Di tempat kerja lain, pimpinan juga bilang, "Saya berharap kamu masih tetap disini." Bahkan saat saya mengusulkan siapa pengganti saya, beliau masih berat menerima.

Narsum yang biasa duet saat siaran juga sering berkata, "Wah, kalau mbak isna sampe keluar, nanti gimana saya ngirim tulisannya?"

Saya tahu, jika saya sampe resign akan banyak yang saya tinggalkan. Dan yang paling saya khawatirkan, siapa yang mau mengambil alih dari semua yang saya tinggalkan?

Tapi saya harus resign. Entah dengan ringan atau berat. Karena panggilan jiwa menjadi seorang ibu...

Gambar : google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf komentarnya saya moderasi. Hanya untuk memastikan ada komentar dan komentarnya sopan. Terima kasih. :)