Sabtu, 12 Desember 2015

Ya, faktor pekewuh dan alasan umur, terkadang jadi sebab kenapa akhirnya beberapa jomblo sampe halal memutuskan menerima si dia untuk lanjut ke jenjang pernikahan. Padahal, jauh dari relung hatinya, ada keraguan teronggok disana. Tapi apa daya, dia tidak kuasa menolak karena pekewuh dengan yang menjodohkan. Dia ustadz terpandang, merupakan pimpinan umum dsb.

Apalagi, umur juga turut berbicara. Tahun depan bahkan sudah masuk kepala tiga. Ustadz yang menjodohkan sedari awal sudah mewanti-wanti agar jangan menikah melebihi umur dua lima. Karena, katanya, ikhwan-ikhwan kalau nyari istri yang umurnya di bawah dua lima. Jika dia sampai menolak kali ini, mungkin ustadz yang menjodohkan tidak akan mau lagi menyarikan.

Ortu pun terus saja mendesak untuk segera menikah. Setiap hari mereka mengeluh lantaran para tetangga maupun kerabat selalu bertanya, kapan kita menikah. Melihat raut sedih kedua orang tua, anak mana yang tidak tercekat hatinya?

Tapi, sekali lagi, jauh dari relung hati itu, sesungguhnya ada keraguan jika sosoknya akan menjadi imam yang tepat bagi kita. Meskipun shalat istikharah sudah dijalankan berulang kali, tetap hati ini sebetulnya belumlah mantap untuk menerima dia sebagai pelabuhan terakhir. Tetapi, mau bagaimana lagi? Tak ada pilihan lain selain menjawab iya, lantaran pekewuh dan kepentok umur!

Ketahuilah, sobat, bahaya jika kita nekat menikah karena dua alasan ini. Berharap, kita menikah untuk menyempurnakan agama, bisa jadi yang tercipta justru malah sebaliknya.

Keraguan akan sosoknya untuk menjadi imam yang tepat semakin menjadi-jadi setelah kita tahu kekurangan demi kekurangannya. Apalagi, jika sedari awal saja kita sudah ragu, bagaimana mungkin kita akan memandangnya dengan kacamata ikhlas? Bahkan rasa kasih dan sayang tak juga muncul karena yang dilihat hanya kekurangannya saja.

Akhirnya menjadi kufurlah sudah. Suami yang kita harap bisa mengantarkan ke syurgaNya, justru malah sebaliknya. Kita terjungkal ke neraka karena pernikahan ini.

Maka, pilihlah dia karena Allah. Bukan karena pekewuh atau kepentok umur. Pilihlah dia karena hati kita memang benar-benar yakin. Keyakinan itu timbul sebagai jawaban dari shalat istikharah yang kita tunaikan.

Jika memang ragu, maka tinggalkanlah. Begitulah yang disabdakan nabi Saw. Tak perlu risau soal umur. Karena jodoh itu bukan soal terlalu cepat atau terlambat. Allah-lah yang kuasa menjodohkan hambaNya dengan sangat pas di waktu yang tepat.

Apa Yang Menjadikan Kita Ragu?

Ada baiknya, kita telaah ulang, sebetulnya apa yang menjadikan kita ragu. Jangan-jangan kriteria yang kita tentukan untuk memilih pasangan terlalu muluk-muluk. Ada lho akhwat yang menetapkan pilihannya harus yang seperti ayahnya. Padahal setiap orang mempunyai keunikan masing-masing yang tak bisa disamakan satu sama lain.

Nabi Saw menasihati umatnya tentang 4 kriteria dalam memilih pasangan, yakni harta, keturunan, rupa dan bagaimana agamanya. Satu yang tidak boleh lepas adalah agamanya. Agama menjadi prioritas utama dalam memilih pasangan.

Pertimbangan agama disini tentu tidak hanya dilihat apakah dia sudah ngaji atau belum, atau berapa lama dia mengaji. Agama itu mencakup keseluruhan. Bagaimana akhlaknya, shalatnya (apakah rajin shalat jama'ah di masjid), semangat ngajinya, pengamalan hasil yang dikaji, perjuangan dakwahnya, dan sebagainya.

Selain itu, nilai kepimpinan juga turut jadi poin penting disini. Kenapa? Ya, karena setelah menikah dia akan menjadi pemimpin untuk istri dan anak-anaknya kelak. Jika nilai kepemimpinan dalam dirinya rendah, maka bagaimana mungkin dia akan menjadi sosok pemimpin yang bijaksana bagi keluarganya?

Sebagai pemimpin, tentu dia harus punya rasa kepercayaan diri yang tinggi. Jika sedari awal saja dia merasa minder dengan keadaan dirinya yang tidak sebanding dengan istrinya, alamat dia akan jadi suami 'tertindas' nanti.

Di samping itu, wibawanya sebagai pemimpin harus ada dalam dirinya. Dia harus bisa disegani dan dihormati istri. Jika dia minderan atau selalu mengalah dengan tindakan istri (padahal tindakannya salah), bagaimana mungkin dia akan disegani sebagai pemimpin?

Suami juga berkewajiban mendidik, mengarahkan istrinya ke arah kebaikan. Istri itu ibarat tulang rusuk yang bengkok. Untuk meluruskannya harus dengan hati-hati sekali dan penuh kesabaran. Apabila diluruskan dengan kasar, dia akan patah, sebaliknya jika dibiarkan akan semakin bengkok.

Jika suami yang didambakan itu tidak memiliki beberapa yang penulis sebutkan diatas, maka adalah keputusan yang tepat untuk menolak sosok yang seperti ini. Tetapi jika dia memiliki nilai seperti yang penulis utarakan diatas, adalah rugi besar jika kita sampai menolak atau merasa ragu hanya karena dia berbeda strata dengan kita. Hanya karena dia lulusan SMA. Hanya karena dia bukan PNS. Atau hanya karena dia belum punya pekerjaan yang mapan. Semoga kita tidak salah memilih.

Sumber gambar : google

Selasa, 01 Desember 2015



"Anakku baru Paud saja sudah pinter membaca," ungkap seorang ibu di sela-sela menunggu daging ayamnya dipotong, bangga.

"Haduh...kalau anakku sekolah saja dia gak mau. Pusing saya, mbak." balas ibu pedagang ayam jengkel.

Saya yang ikut ngantri beli daging ayam, hanya diam. Ikut menyimak.

"Kalau anak semasa Paud atau TK sudah pinter membaca kan, nanti pas dia masuk SD sudah siap," timpal ibu berjilbab coklat itu meyakinkan.

"Anak cowokku itu bikin tobat ayahnya. Padahal dia udah kelas satu, tapi belum bisa membaca. Lha gimana, orang dia males masuk sekolah," jelas ibu pedagang ayam itu sembari menyerahkan sebungkus plastik berisi daging ayam yang sudah dipotong.

Setelah membayar, ibu muda itu pun beringsut pergi. "Belum bisa membaca nggak pa-pa kok, mbak." Timpal saya kemudian setelah memastikan si ibu itu menjauh. Saya sengaja tidak ikut nimbrung karena saya tidak kenal dengan si ibu berkulit putih itu. Nanti ndak dikira saya menggurui.

"Anak yang belum bisa membaca itu bukan berarti dia tidak pintar lho mbak. Malah terkadang justru anak seperti itu tingkat kreativitasnya lebih tinggi ketimbang mereka yang sudah pintar membaca. Tinggal bagaimana orangtua memahami kemampuan si anak. Dengan dukungan yang bagus dari orangtua, insyaAllah anak akan lebih maju," tukas saya panjang lebar.

Memang ya, banyak ortu menilai kepintaran anak hanya dilihat dari kemampuan calistungnya (baca, tulis, hitung). Baru umur 5 tahun, anaknya belum bisa membaca saja sudah paniknya luar biasa. Khawatir kalau nanti anaknya akan ketinggalan saat duduk di bangku sekolah dasar.

Tak jarang, ortu menyebut anaknya bodoh hanya karena si anak yang sudah duduk di bangku sekolah dasar, tetapi belum jua bisa membaca. Sepupu saya misalnya. Banyak orang menyebutnya bodoh, termasuk orang tuanya, karena dia yang (saat itu) sudah kelas 4 SD belum lancar membaca. Padahal kalau coba menilik lebih dalam, dia ini jiwa seninya lumayan lho. Saya pernah lihat dia ngecat dinding rumahnya, hasilnya bagus. Perpaduan warnanya, meski agak ngejreng, sudah lumayan untuk anak seusianya (14 tahun). Dan dia mengecat dinding dengan corak yang berbeda, walaupun menurut orang dewasa mungkin akan dinilai aneh.

Dia juga pintar ngutak-ngatik barang untuk diperbaiki. Dan mungkin ada banyak keunggulan lainnya yang luput dari perhatian saya.

Beberapa waktu lalu saya ngeshare artikel dari Republika Online yang menjelaskan betapa anak yang terlalu cepat belajar calistung itu akan merusak tatanan otak kanannya. Dilansir dari nationalgeographic, belahan otak bagian kanan bertanggung jawab atas kemampuan spesial; meliputi pengenalan wajah dan pengolahan musik. Otak bagian kanan juga melalukan beberapa fungsi matematika, tapi hanya perkiraan kasar dan perbandingan. Bagian ini juga membantu kita memahami citra visual dan apa yang kita lihat. Dalam hal bahasa, bagian ini membantu kita menafsirkan konteks dan nada seseorang ketika berbicara. Mengutip dari parenting.co.id, otak kanan juga mengurusi hal-hal yang bersifat spontan, impulsif, dan emosional.

Bahkan menurut Sudjarwo, Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Ditjen PNFI Kemendiknas tahun 2010, seperti dikutip Republika online, memberikan pelajaran calistung pada anak dapat menghambat pertumbuhan kecerdasan mental. Anak akan tumbuh menjadi pemberontak atau biasa disebut mental hectic.

Saya ingat ketika itu saya baru duduk di kelas, entah satu atau dua, Om saya mencoba mengadu kemampuan berhitung saya dengan sepupu yang sebaya. Sepupu saya sangat cepat sekali menjawab soal pertambahan, perkalian atau pembagian. Dia terlihat pintar sekali. Sedang saya? Saya saat itu justru terlihat seperti anak dungu yang tidak bisa menjawab satupun.

Dan tanpa mereka sadari, itulah awal saya menjadi tidak percaya diri dengan kemampuan saya. Saya bahkan seperti trauma dengan pelajaran Matematika. Setiap kali saya diajari Matematika, saya selalu menghindar.

Beruntung saat SMP dan SMA saya sekolah di sekolah berasrama. Disanalah kepercayaan diri saya mulai tumbuh. Bahwa saya bukan murid bodoh, seperti yang banyak dikatakan orang. Saya juga mulai menyukai pelajaran Matematika. Bahkan sangat mencintai pelajaran Matematika saat di bangku SMA.

Inilah mengapa saya selalu bilang ke suami saya, "Jangan harap anak kita nanti akan terlihat 'pintar' seperti mereka. Mungkin dia baru akan kelihatan saat sudah duduk di bangku SMP, SMA atau mungkin saat kuliah."

Ya, anak saya memang unggul dalam bersosialisasi. Dia mampu merekam pesan bundanya. Dia bisa menepati janjinya ketika dia sudah setuju dengan janji yang dibuat dengan bundanya. Nilai kedisiplinannya bagus. Ketika bermain dengan temannya, dia selalu bertindak sebagai inspirator. Kontrol emosi juga baik. Kepercayaandiri bagus. Ketanggapan sangat tinggi. Dia juga tak segan membantu ketika dimintai bantuan, asal bantuan itu yang membuat dia bisa bergerak kesana kemari. Empatinya juga bagus. Walau semua keunggulannya itu tak akan berlaku saat dia ngantuk atau baru bangun tidur. Hehe.

Tapi dia ini tipikal anak yang tidak mau didikte, tidak suka digurui. Contoh saja saat dia belajar naik sepeda roda empat. Stang sepedanya kebalik. Saya berusaha mengembalikan posisi stang yang benar. Apa coba reaksinya?

"Enggak ya, bun. Yang benar itu yang seperti ini." timpalnya seraya membalikkan stang sepeda. Dia nekat menaiki sepeda dengan posisi stang kebalik. Olala.

Pun halnya ketika ia belajar mewarnai.  Awalnya dia bisa mewarnai pas di kotaknya, walaupun hasilnya gak beraturan (maklum, anak saya belum genap 3 tahun :D). Tapi setelah bundanya memujinya dan memintanya mewarnai lagi. Masya Allah, begitu saya tengok hasilnya, dia malah mencorat-coret seluruh halaman bukunya. Gak karuan bentuknya.

"Kayak gini kan, bun?" tanyanya polos. Gleg. Nelen ludah.

Tapi saya masih bersyukur karena dia sangat senang dengan alqur'an. Dia akan dengan suka cita membuka alqur'annya, membaca (menghafal tepatnya) surat alfatihah, walaupun hasilnya masih kebalik-balik :D. Dia juga suka kalau belajar iqro'. Meskipun bagian yang gak ada hurufnya, dia nekat nanyain. "Kalau yang ini apa, bun?" tanyanya sambil nunjuk gak berdosa. Hahaha.

Saya harap tulisan saya ini bisa jadi telaah bagi para orang tua. Bagaimanapun, setiap anak itu dianugrahi kemampuan masing-masing. Dan jangan mencoba membandingkan, karena setiap anak punya kemampuan yang berbeda-beda.

Senin, 23 November 2015

Inget cerita "Finding Husband" yang banyak diposting di grup-grup kajian Islam beberapa waktu lalu gak nie? Istri sampai gak ngenali wajah suaminya karena beberapa (bulan atau minggu ya? Lupa ikh...) terpaksa harus LDR-an selepas menikah. Nah, inilah salah satu uniknya menikah dengan yang belum dikenal. Hehe.

Nikah dengan yang belum dikenal itu emang gak banyak pengikutnya. Was-was kalau dia nanti begini atau begitu kayaknya jadi alasan kenapa jombloers ogah nikah dengan yang belum dikenal.

Wajar sih ya, kalau kita was-was, khawatir. Saya sendiri dulunya juga sempat didera perasaan kayak gini. Apalagi saya yang kepalanya terisi banyak ilmu (wuissshhh padahal cuma secenthong ilmunya :p), tingkat kekhawatiran saya sudah merambah dari yang level paling error sampai horor.

Tapi kalau segala sesuatunya kita serahkan kepada Allah, insyaAllah Dia redam rasa was-was itu. Dia tunjukkan betapa pribadinya tidak seperti yang kita khawatirkan.

Saya dan suami walau sebelumnya tidak saling kenal, alhamdulillah tidak perlu waktu lama untuk menjalin hubungan yang tidak kaku. Bahkan kami cepat sekali menyatu seperti seorang sahabat. Sahabat hidup tepatnya. Mungkin karena faktor istrinya kali ya, yang suple dan gampang bergaul (hahaha ini emak pede nian cuinnn...).

Yang jelas, di balik 'horor'-nya nikah dengan yang belum dikenal, terselip cerita unik dari mereka. Selain 'Finding Husband', banyak juga dari mereka yang gak hafal jalan pulang menuju rumah suami. Alhasil tersesatlah kemudian. Kayak saya.

Sore itu, saya belokkan motor ke sebuah gang. Beberapa meter perjalanan, saya berhenti. Gak yakin kalau ini jalan yang biasa dilewatin pas diantar suami.

Saya balik arah, kembali ke jalan utama. Motor terus digeber lurus. Sampai pada tugu masuk kampung, saya belok mengikuti arah jalan.

Shhhhttt. Motor mendadak berhenti. Sengaja direm. Pandangan saya mengitari. Asing.

Lagi-lagi saya balik arah. Tiba di pertigaan dekat tugu, saya parkir motor pinjaman kantor itu di pinggir jalan.

Bingung. Berusaha mengingat tapi nihil. Bertanya? Ah, yang ada saya malah diketawain. Masa iya saya nanyain, "Dimana rumah suamiku?" Alamat saja saya tahunya hanya kecamatan dan kabupaten.

Pffff...saya membuang napas pasrah. Apa boleh buat, terpaksa minta dijemput suami. "Aku tersesat. Pick me up... :(" tulis saya kala itu yang sukses terkirim ke nomor suami.

Dia balik membalas, bertanya dimana saya karena tidak menerangkan tempatnya. Kontan saya menulis pesan balasan dimana tepatnya saya berada.

Sembari menunggu jemputan, saya duduk di pinggir jalan dekat sawah. Dua mata saya melirik ke samping. Ada kakek yang tengah mencangkul sisa akar pohon yang sudah ditebang. Tangan saya sontak mengeluarkan hp. Sang ibu jari sibuk memencet, memotret berbagai gaya si kakek mencangkul.

Tak berapa lama, motor berwarna merah itu menyembul dari kelokan jalan. Saya berjingkat sumringah. Dari kejauhan terlihat jelas, dia tertawa geli. Saya cuman bisa nyengir, malu-maluin. Hahaha.

Yah, inilah istrimu yang bisa mengingat setiap jengkal peristiwa penting, bahkan sampai warna pakaiannya, tapi paling dedel duel kalo ngapalin rute jalan, nama jalan sampai nama orang. Hehehe.

Inilah salah dua, uniknya menikah dengan yang belum dikenal. Ada cerita unik lainnya mungkin? :)

Sumber gambar : Cyberdakwah

Jumat, 13 November 2015

"Kenapa mbak mau meninggalkan pekerjaan lalu jadi ibu rumah tangga yang sekarang stay di rumah?" tanya seorang teman via inbox di Facebook kala itu. Saya tidak menjawab langsung. Jawaban saya sengaja saya posting untuk publik agar jadi pembelajaran bersama. Dan kali inipun saya juga memuatnya disini.

Apa alasan saya? Jujur saya katakan, awalnya sayapun tidak tahu pasti alasannya. Resign dari pekerjaan dan sekarang cuman jadi ibu erte yang 24 jam penuh bersama suami dan anak-anak benar-benar tidak pernah saya bayangkan dulu. Bahkan, ketika itu, saya malah ogah membayangkan seperti apa kehidupan rumah tangga, mengurus suami dan anak-anak.

Saya ini orangnya egois, maunya menang sendiri, ngeyelan, saya tomboy, suka melakukan sesuatu yang gak biasa, senang melawan arah dan tidak memikirkan perasaan orang lain. Dengan kepribadian saya yang buruk ini, saat itu doa yang selalu saya panjatkan adalah, "Ya Rabb, pertemukanlah aku dengan jodohku ketika aku Engkau nilai siap menjadi istri. Entah kapan itu. Engkau Yang Maha Tahu."

Saya pernah dalam masa yang: tidak ingin memikirkan pernikahan (untuk sementara waktu). Berkali-kali saya diminta mengirimkan cv, tapi saya enggan membuatnya. Ada teman yang mencoba menta'arufkan saya, jawaban saya hanya, "Pliss...jangan saya."

Pada akhirnya saya sembuh dalam kegamangan saya menatap pernikahan. Itupun karena Allah menyadarkan saya lewat ujian-ujian yang berharga itu. Dan singkat cerita, saya menikah setelah dua tahun lebih 9 bulan pasca lulus kuliah.

Lalu setelah menikah apa saya langsung resign? Tidak. Saya masih menjalani hari-hari biasa seperti semasa single dulu karena saya pun tidak dilarang suami meski saya aktif di luar rumah. Bedanya, saya lebih sering diantar jemput suami.

Saya baru memutuskan resign setelah (akan) diamanahi menjadi ibu. Kenapa harus resign? Saya pikir itulah panggilan jiwa.

Saya menyadari ketidaklihain saya menjadi ibu, seperti yang didengungkan oleh kebanyakan orang. Apalagi pekerjaan saya ada di banyak tempat. Dan itu membutuhkan konsentrasi penuh. Kalau sudah dikejar deadline, akan ada banyak orang yang saya cuekin.

Saya pikir, jika saya terus seperti ini, bagaimana dengan keluarga saya? Lebih-lebih jika sudah ada anak.

Kata orang, anak itu gurunya sabar. Saat bersamanya kita benar-benar dilatih olehnya bagaimana menjadi ibu yang sabar. Saya tidak bisa membayangkan jika saya tetap bekerja dengan segudang pekerjaan sekaligus mengurus anak. Sabarkah saya?

Ini saja, saya yang sudah resign, sesekali tak sabar menghadapi anak yang rewel sampai keceplosan memarahinya. Apalagi jika saya belum resign? Seperti apa jadinya saya?

Lewat perjalanan waktu, saya jadi tahu kenapa saya harus membersamainya, terutama di masa emasnya. Mungkin alasannya adalah pelajaran-pelajaran yang sudah saya bagikan di fb.

Bukan hanya aqidah, saya juga harus menanamkan nilai-nilai kebaikan padanya. Belajar amanah, berlaku jujur, disiplin, percaya diri, bersosialisasi, bersyukur dengan apa yang dia punya, dsb.

Kadang saya jadi mikir sendiri. Ah, bagaimana jadinya anak saya andaikan saya tidak bersamanya? Pernah di usia 7 atau 8 bulan, saya sejenak diajak ngomong dengan seseorang. Hanya beberapa detik luput dari perhatian, saya menangkap ada yang ganjil di mulutnya. Dia terlihat seperti mengunyah sesuatu.

Tangan saya buru-buru merogoh ke dalam mulut. Benar, ada sesuatu! Dia mengunyah peniti! Ya Rabbiy...

Kadang saya juga bertanya-tanya sendiri. Bersama ibunya saja ada keceplosan memarahinya, bagaimana jika dia bersama pengasuh? Ada anak tetangga saya, katanya, hanya minta pipis saja dia dibentak, kadang ditabokin. Ketahuannya ya pas ibunya pulang awal waktu. Pernah juga saya melihat ada pengasuh yang tengah menyuapi si bayi. Wow, mulut masih penuh bubur, langsung disuapi lagi, disuapi lagi! Sampe mulutnya muncu-muncu! Hehehe.

Maka, saya pikir, resign adalah keputusan yang tepat bagi ibu macam saya.

Ada yang tanya, apa kamu tidak sayang meninggalkan pekerjaanmu?

Wah, bukan hanya sayang. Sangat berat sekali memutuskan untuk meninggalkan. Apalagi pekerjaan saya dulu adalah perjuangan.

Saya sampai mengulur-ulur waktu untuk mengajukan resign. Setiap kali saya hendak mengutarakan ini, pimpinan lebih dulu bilang, "Makanya kamu harus tetap disini. Kita harus berjuang."

Bahkan saat dia tahu saya mau keluar, dia malah mengiming-imingi saya menempati posisi tertentu yang kosong sebagai full timer. Di tempat kerja lain, pimpinan juga bilang, "Saya berharap kamu masih tetap disini." Bahkan saat saya mengusulkan siapa pengganti saya, beliau masih berat menerima.

Narsum yang biasa duet saat siaran juga sering berkata, "Wah, kalau mbak isna sampe keluar, nanti gimana saya ngirim tulisannya?"

Saya tahu, jika saya sampe resign akan banyak yang saya tinggalkan. Dan yang paling saya khawatirkan, siapa yang mau mengambil alih dari semua yang saya tinggalkan?

Tapi saya harus resign. Entah dengan ringan atau berat. Karena panggilan jiwa menjadi seorang ibu...

Gambar : google.com

Senin, 09 November 2015

Meski kita sudah mantap menerima pinangan seseorang, bisa jadi kita akan diuji dengan keadaan yang terkadang membuat keikhlasan kita sedikit goyah. Terselip pula sebetik penyesalan, andai kita menunda menetapkan pilihan.

"Kamu tahu si A itu?"
"Kenapa?"
"Dia berniat melamar kamu lho! Tapi karena kamu sudah keduluan dilamar orang lain, dia terpaksa mengurungkan niatnya."

Si A adalah teman SMA yang kita kenal yang kini sukses merintis bisnis rental mobil. Bukan hanya si A saja yang hendak meminang rupanya. Ada si B, seorang dosen muda di universitas negeri yang juga kita kenal (meski tak mengenal lebih detail). Ada pula si C, yang merupakan praktisi kesehatan.

Selain mereka, sosok-sosok yang sebetulnya punya niat untuk meminang--tanpa pernah mencoba mendekati lewat jalan ilegal-- ternyata baru bermunculan selepas kita memantapkan pilihan. Padahal sebelum ini, kita sempat dibuat bingung saat orang tua bertanya, "Apa kamu sudah punya calon? Jika sudah ada, suruh dia ketemu sama bapak."

Kita bahkan menunda-menunda mengirimkan profil/proposal ke pimpinan karena berharap bisa bernasib seperti mereka: tanpa menyetor profil, tahu-tahu sudah datang lelaki shaleh yang melamar. Tapi nyatanya, ditunggu-tunggu tak jua ada. Satupun tak ada. Sementara pimpinan terus bertanya, mau sampai kapan nyetor profilnya.

Dan saat kita memutuskan mengirimkan profil kepada pimpinan, beberapa kali kita dita'arufkan dengan ikhwan-ikhwan yang profilnya tidak 'sekeren' ikhwan yang ketahuan berniat meminang. Mereka hanya lulusan SMA, ada yang sarjana tapi masih pengangguran, ada pula yang sudah bekerja tapi gaji hanya seberapa. Mereka ini juga tidak kita kenal sebelumnya. Kita yang memimpikan suami aktivis dakwah ternyata juga tidak kita temukan pada sosok-sosok ini.

Sampai pilihan kita jatuh pada sosoknya, seseorang yang kita tidak menemukan alasan untuk menolaknya. Dia mungkin jauh dari angan kita, tapi, sekali lagi, kita tidak menemukan alasan yang dibenarkan agama untuk menolaknya. Pekerjaannya mungkin tak sekeren mereka yang terlambat meminang. Penghasilannya pun begitu. Dia juga bukan aktivis yang vocal di depan menyerukan dakwah, tetapi hanya warga ngaji biasa yang istiqomah mengamalkan hasil kajinya.

Tapi dialah pilihan kita. Dialah jawaban dalam shalat istikharah kita. Mungkin kita menilai, alangkah baiknya andai kita menikah dengan salah satu diantara mereka. Tetapi, Allah Maha Tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Dia menjodohkan hamba-Nya dengan sangat pas di waktu yang tepat.

Tentu adalah dilarang andaikan kita membatalkan pinangan yang telah disepakati hanya karena ada sosok lain yang dinilai lebih mapan. Rasulullah Saw juga bersabda, "Tidak boleh seseorang meminang atas pinangan saudaranya sehingga peminang sebelumnya itu meninggalkannya atau memberi ijin kepadanya." (HR. Ahmad, Bukhori, dan Nasai)

Dan sampailah kita pada hari pernikahan itu. Rupanya ujian keikhlasan belum berhenti sampai disini. Di hari bahagia itu, ada saja orang yang keceplosan memberitahu, jika sosok yang dinanti dalam diam itu ternyata juga punya niatan yang sama. Seperti mereka yang terlambat meminang.

Mendengar kenyataan ini, bagaimana reaksi kita? Bisa jadi keikhlasan kita bukan lagi sedikit goyah, melainkan sudah sangat-sangat goyah. Andai hati semakin dilingkupi syaitan, rasa ikhlaj menerima bagaimanapun keadaan pasangan bisa saja ambruk tak bersisa. Apalagi dalam perjalanannya sosok yang menjadi pasangan kita ternyata jauh dari yang diimpikan. Sementara ada banyak ikhwan lain yang sosoknya lebih "elok" dari pasangan kita, terpaksa mengurungkan niat meminang karena kita lebih dulu memantapkan pilihan.

Penyesalan mungkin menyelimuti. Andai kita tak buru-buru menetapkan pilihan. Andai kita sedikit menunda. Andai kita...

Ah, mengapa jadi berandai-andai? Padahal jika kita bijak menelaah ulang, kenapa kita mantab memilihnya? Siapa yang menjadikan hati kita yakin untuk menerimanya?

Semua karena Allah. Dia-lah yang kuasa menjodohkan hambaNya. Dia Maha Tahu yang terbaik bagi hambaNya. Mungkin kita menilai dia baik untuk kita, tetapi belum tentu menurut Allah. Allah berfirman yang artinya, "...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kami menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al Baqarah 216)

Karena jodoh itu bukan menurut angan kita, tetapi sesuai kehendakNya. Percayalah, tak ada jodoh yang keliru atau tertukar. Tak ada jodoh yang terlalu cepat atau terlambat. Karena Dia kuasa menjodohkan hambaNya dengan sangat pas di waktu yang tepat.

Sesungguhnya Allah hanya menguji keikhlasan kita, bagaimana jika dihadapkan pada keadaan seperti ini. Apakah kita akan tetap ikhlas, goyah atau malah kufur?

Tentu jawabannya adalah yang pertama. Karena bagaimanapun dialah pilihan kita. Bersamanya kita mantap membina rumah tangga. Dan yakinlah dengan pilihanNya. Jika kita memandang pasangan kita dengan kacamata ikhlas, insyaAllah Allah akan tunjukkan betapa pasangan kita sangat pas dan tepat bagi kita. Lewat perjalanan waktu, mata kita akan terbuka betapa dia yang terbaik bagi kita. Dia mampu melengkapi kekurangan kita, menyempurnakan kelebihan kita, sehingga kita bisa bersatu padu saling mendukung satu sama lain. Dan semoga karena perjodohan ini mengantarkan kita pada JannahNya.

Sabtu, 31 Oktober 2015


"Yang naksir sama dia mah banyak, mbak." tulis teman lewat sms.
"Lha kalau kamu, siapa yang naksir?" saya balas menggoda. Belum sempat dia menjawab, saya sudah keburu ngirim lagi. "Bersyukurlah kalau gak ada orang (maksudnya dari golongan kaum adam lhoh hihihi) yang naksir kamu. Dunia aman, damai dan terkendali. Hehehe..."

Saya sebernarnya hanya becanda dan nyeplos saja, tapi setelah dipikir-pikir ada benarnya juga. Jiahh...

Hayuk ah, mari kita kupas keuntungan menjomblo sampe halal yang benar-benar menjomblo sampe dia ketemu jodohnya (baca: dia ini jomblo sampe halal tapi ya tadi, gak ada satupun yang naksir dia kecuali saat dia udah nyetor "proposal" :D ).

Seperti yang saya bilang, dunia aman, damai dan terkendali. Kenapa? Ya jelaslah, kalau kita (etapi yang nulis bukan jomblo lagi :p) gak ada yang naksir, otomatis kita selamat dari maksiat. Gak ada orang yang mencoba ngegangguin kita untuk berbuat maksiat.

Kita juga aman dari geng pemberi harapan palsu. Beraninya ngedeketin, modusnya ngajak sharing ilmu, eh gak taunya dia cuman tukang PHP. Begitu ditagih, kalau berani ngelamar dong! Welhadalah...si biang PHP malah ngeles. Belum siap nikah katanya. Ngeselinnya dia masih saja ngajak ngobrol via media walaupun modusnya: tetep diskusi yach! Beuh, spesies macam ini mah mending  "ditendang" ke laut! :D

Emang sie yah, jadi jomblo sampe halal yang (kelihatannya) gak ada yang naksir itu kesannya kayak melas banget. Kata orang-orang yang pikirannya kelewat cupet juga nyebutnya kayak gak laku gitu.

Ketika ada teman dengan bangganya cerita, siapa-siapa saja yang sudah "nembung" ke dia buat dijadiin istri. Ada juga yang pede banget pamer berapa banyak surat cinta yang dia dapat dari orang-orang yang nyatain cinta ke dia. Lha kita? Apanya yang mau diceritain? Orang gak ada yang naksir! Xixixi.

Pun begitu, sob, jangan patah arang meskipun kamu termasuk jomblo sampe halal yang miskin "dilirik" orang buat dijadiin pasangan. Bisa jadi nie yah, ketika kamu udah nyetor "proposal" nikah sekalipun, kadang jalannya benar-benar berliku. Dita'arufkan berkali-kali, berkali-kali pula kamu kena tolak. Ngenes yah kesannya. Hehe.

Eits, tapi kamu kudu sabar, sob. Jangan nyesek gitu ah meski kamu sering kena tolak. Tuh Allah menyemangati kita dengan firmanNya, "Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman." (QS Ali Imran 139)

Semangat terus ya, sob! Percaya diri mah kudu! Ikhtiyar, doa, tawakkal plus sabar, harus itu! Jangan takut gak kebagian jodoh. Entah kapan, insyaAllah akan ada waktu yang dinantikan itu. Jangan galau lagi yak. Saya dulu juga mantan jomblo sampe halal dan (kayaknya) gak ada yang naksir, tapi sekarang juga ketemu sama jodohnya.

Rabu, 28 Oktober 2015

Siapa nih yang sering jadi korban harapan palsu? Pasti gak akan ada yang ngaku. Hehehe.

Walau korbannya kebanyakan akhwat, tapi gak menutup kemungkinan yang ikhwan pun juga kena lho! Gak percaya? Orang saya langsung dilaporin sama si korbannya.

"Dia minta aku nunggu setahun lagi. Pas udah setahun, dia gak bilang iya atau tidak. Daripada digantung gak jelas lebih baik aku nyari yang lain." #kasus1 ya. :)

#kasus2 "Kasihan, mbak, sama si mas X itu. Dia cerita kalau dulunya dia mau nembung si mbak Y. Katanya sih nunggu habis lulus kuliah dulu. Eh, gak lama kemudian mas X denger kabar kalau mbak Y mau nikah sama mas Z."

Ini yang ikhwan. Yang akhwatnya? Widih, banyak banget bo' yang  sampai ke telinga saya.

Modusnya biasanya ngajakin diskusi. Awalnya gak kelihatan memang. Sangat halus sekali. Kalau si akhwat gak nyadar kalau dia sedang dimodusin, lama-lama akan tumbuh benih-benih cinta (ciee...). Padahal dia cuman jadi korban harapan palsu.

Walau saya mempelajari ilmu beginian (hahaha, emang ilmu apaan? Ilmu harapan palsu? :D), tapi saya juga hampir saja kecolongan jadi korban harapan palsu. Hampir lho ya, gak sampai jadi korban.

Ini terjadi ketika saya masih dalam masa transisi dari jahil menuju niat untuk berubah lebih baik lagi. Awalnya saya benar-benar menjaga dengan orang ini. Kalau dia ngajakin diskusi, biasanya saya cuman jawab "ya" "hmm", gak lama dan lebih memilih menghindar.

Tapi satu waktu saya mendengar dia berkata kepada temannya, "Aku gak mungkin menyukai wanita yang seumuran. Aku mikirnya kalau nanti sudah umur 40 tahun, itu kan puber kedua pria."

Waktu itu saya dengan lugunya mempercayai kata-katanya. Berarti kalau dia ngajakin diskusi, saya gak perlu menghindar karena dia tidak mungkin menyukai saya, batin saya yakin.

Saya mulai mengungkapkan pendapat panjang lebar kalau diajak diskusi bahas sesuatu. Tanpa saya sadari, ternyata udang di balik bakwan tetap ada juga.

Saya mulai sadar ketika beberapa hari gak ketemu saya, dia sms, kalau baru 3 hari gak ketemu rasanya kayak lama gak ketemu. Alamak! Modus kelihatan.

Lebih sadar lagi saat teman-teman sekomunitas sedang makan bersama. Ketika itu saya hendak menyiduk sayur, dia bilang gini, "Kamu kok gak ambilin aku makan?"

What's?! "Ya, ambil aja sendiri. Emang aku siapanya kamu?" jawab saya ketus.

"Kamu sebagai wanita harusnya latihan gimana ngambilin makanan ke suaminya gitu."

Lah? Ini orang pemberi harapan palsu yang hobinya bikin kegeeran. Sayangnya, saya pribadi  kalau ngadepin orang kayak gini, bukannya GR malah sebaliknya, ilfil berat! Harus dimusnahkan jauh-jauh dari kehidupan! Beuh sadis! :p

FYI nih guys, si biang harapan palsu ini gak cuman ngedeketin 1 orang. Catet itu! Jadi kamu jangan gampang keGeeRan.

Dari awal pas nyadar kalau saya dimodusin, saya sudah sangat yakin kalau dia juga ngedeketin orang lain, entah berapa jumlahnya. Bukti pertama, ada teman yang ngelapor kalau dia sedang duduk sebelahan diskusi berdua di perpustakaan.

Bukti kedua, saat saya ditelepon suruh jemput teman wanitanya yang mabuk kendaraan di terminal. Padahal saya dari Sragen dipaksa suruh jemput dia ke Solo, cuman buat ngurusin orang mabuk kendaraan. Hellow?!

Dia pikir, saya sudah masuk jebakan dia yang bisa disuruh ini itu. Ya saya jawab saja, gak mau karena saya sendiri kalau mabuk kendaraan ya ngurus sendiri.

Saya gak tahu deh, sebenarnya apa tujuan biangers pemberi harapan palsu ini? Ada yang tahu?

Seorang teman yang jadi korban harapan palsu dia bercerita. "Aku ngundang dia di pernikahanku. Ditelepon dia nanya, apa aku masih boleh bertanya soal agama ke ukhti? Ya aku jawab aja jangan. Dia bisa nanya ke teman-temannya yang ikhwan. Dia juga bilang, dia gak pengen ngelihat aku lagi karena rasanya akan sakit kalau tahu aku menikah dengan orang lain." #kasus3

Level gombalnya udah terlampau lebay kan? Ya, kalau bener dia sakit (hatinya), pasti saat si akhwat ini nyuruh ngelamar, bakal dilakukan. Kenyataannya malah bilang belum siap dan nyuruh dia nikah sama yang lain.

Anehnya, meski sudah dinasehatin agar lebih menjaga lagi dari orang-orang seperti ini, ada saja yang masih ngeyel. Alhasil dia dikibulin lagi dikibulin lagi.

Dan lebih anehnya lagi, masih juga percaya dengan biangers ngeselin ini. Malah kalau dibilangin suruh ngejauhin, dia ngebelain, "Kali ini beda, mbak. Aku lihat dia sangat serius. Dia janji mau ngelamar aku bulan Januari." #kasus4

Pff, saya gak akan banyak nasehatin kecuali bilang, "Jaga hati, ukh. Jaga hati, akh. Biar gak sampai patah hati. Emang mau jadi korban harapan palsu?"

Inget, syaitan membisiki! Dia terus membuaimu karena kamu tetap gak tergoda pacaran. Tapi dia sukses bikin kamu keGRan. Dan pas udah nyadar, e..kamu cuman korban harapan palsu.

Senin, 26 Oktober 2015

Catet ya, sob! Kunci penting buat jomblo-jomblo sampe halal pas momen ta'arufan: Kamu kudu PERCAYA DIRI!!! (inget, ta'arufannya gak pake tanda kutip atau kepleset pake huruf "p" ya, u know what i mean kan, sob :D )

Walau gak semua, banyak jomblo sampe halal ngerasa kurang pede pas proses ta'arufan, khususnya waktu mereka diketemukan. Ada banyak faktor kenapa mereka jadi ngerasa gak pede. Mungkin karena faktor fisikly, latar belakang pendidikan, keluarga dsb.

Ngomong-ngomong soal ini, saya dapat cerita dari seorang teman. Dia ini akhwat, orangnya pinter dan aktif. Satu ketika dia dita'arufkan dengan seorang ikhwan lulusan SMK.

Teman saya ini termasuk orang yang tidak memandang "siapa", makanya ketika diminta sang ustadz untuk bertemu dengan seseorang, dia berusaha untuk tidak menolaknya.

Tetapi pada akhirnya dia mantap memutuskan untuk menolak si ikhwan menjadi suaminya. Kamu mau tahu apa alasannya? Ya, salah satunya karena si doi merasa gak pede dengan tingkat pendidikan yang berbeda.

Ini terlihat dari mimik muka dan nada suara si ikhwan saat bertanya soal tingkat pendidikan sang akhwat. "Embaknya...lulusannya...sar...jana...ya...?"

Mau tahu apa komentar si akhwat usai ketemuan? "Yang benar saja, masa' dia nanyain apa lulusannya kayak minder gitu? Nerima suami kayak gini ya gak mungkinlah."

Tuh kan? Kalau kamu ngerasa gak pede dengan keadaanmu, alamat kamu kena tolak si doi. Pede itu poin plus, sob.

Inget gak cerita saat Salman al Faritsi kena tolak gadis shalehah yang dilamarnya? Pada akhirnya si gadis malah kesemsem sama sahabat yang nemenin Salman saat ngelamar. Sahabat inilah yang dengan lantang bicaranya mengutarakan maksud Salman melamar si gadis.

Kalau kamu adalah ikhwan/akhwat shaleh/ah, gak ada alasan untuk gak percaya diri. Allah bahkan menyemangati hambaNya untuk tidak bersikap lemah dan bersedih hati jika kita orang beriman (buka QS.Ali Imran 139 yak!).

Rasulullah Saw juga bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai) bentuk tubuhmu dan harta bendamu, tetapi Allah melihat (menilai) pada hatimu dan amalmu." (HR. Muslim juz 4, hal 1987)

So, sob! Kamu kudu pede, pede dan pede! Soal ditolak ini mah urusan belakangan. Yang penting kamu kudu pede dengan apa yang ada di dirimu. Apalagi yang ikhwan nie, penting banget karena kamu nanti bakal jadi calon pemimpin. Ehem, ehem, ehem. :)

Sabtu, 24 Oktober 2015

Tetiba saya nemu istilah ini: Suami Beng-Is. Apa itu? Suami yang nebeng istri dalam hal menopang perekenomian rumah tangga. Suami yang seharusnya mencari nafkah untuk keluarga, tetapi perannya diambil alih oleh istri.

Inilah yang saya sebut sebagai suami Beng-Is. Suami macam ini tampaknya semakin bertambah saja. Tak jarang, yang sudah mengajipun bisa terjerembab pada posisi ini. Saya pikir, ada beberapa faktor kenapa mereka menjadi suami Beng-Is (Jadi jangan menjudge negatif dulu ya).

"Ibuku sudah nggak tahan lagi sama bapakku, mbak. Aku kasihan sama ibuku. Dia pontang-ponting kerja serabutan kesana kemari, sementara ayahku malah enak di rumah," curhat salah satu adik tingkat di kosan dulu. #kasus1

"Kasihan dia. Dia kerja jadi guru Paud. Masih nyambi buat tempe keripik untuk dijual ke toko-toko. Jual brambang goreng. Sementara suaminya malah enakan dolan ngabisin uang," ada ibu yang cerita, saya ikut nyimak. #kasus2

Seperti yang saya bilang tadi, ada beberapa faktor kenapa suami menjadi seperti ini. Saya tidak akan membahas jika mereka ini bukan orang yang mengkaji tuntunan Islam. Kewajiban shalat saja berani ditinggalkan, apalagi kewajiban memberi nafkah keluarga?

Hanya yang jadi garis besar disini kenapa orang yang sudah mengerti tuntunan Islam sekalipun bisa terjerembab menjadi suami Beng-Is? Perlu diketahui, kasus 1 adalah mereka yang sudah mengaji.

Saya melihat banyak saudara kita yang kesehariannya berdagang, yang jualan adalah istri sementara suami hanya bantu mengangkat-angkat barang, kulakan dsb. Sementara istri terlihat pintar dan luwes berdagang, sedangkan suami dia terlihat tidak berdaya andaikan dia diminta berdagang sendiri.

Nah, pada kasus seperti ini, terkadang istri merasa bahwa yang menghasilkan adalah dia seorang. Meski tanpa bantuan suami, dia merasa bisa melakukannya sendiri.

Kerja keras suami yang mengangkat barang, kulakan dsb tidak diperhitungkan karena dia pikir toh ketika ditinggalkan dia bisa melakukannya.

Tanpa disadari sikap merasa bisa dari seorang istri ini akan memicu sikap pesimistis dari suami. Jika istri memang berharap suami bisa juga berdagang, pacu dia, dorong, dan semangati dia. Yakinkan bahwa dia bisa melakukannya. Jangan terlalu menuntut dia bisa luwes dan cekatan seperti istri yang pintar berjualan. Kepiawaiannya mungkin tak seluwes istri, tapi seberapa kecil usahanya hargailah ia.

Jika istri selalu menganggap enteng usaha suami, tidak menghargai malah terkadang mencerca, sikap seperti ini yang kadang memunculkan rasa pesimis sehingga bermuara pada suami beng-Is.

Dia ini meski terlihat kuat, tetapi ada sisi dia akan menjadi rapuh, apalagi ketika belahan jiwanya tidak mampu memahami dan mengerti bagaimana dia. Dia sangat butuh dorongan dari orang terkasihnya. Bahkan kalimat, "Semangat!" atau "Saya percaya njenengan bisa melakukannya!" mampu menjadi cambuk dahsyat untuk memotivasinya.

Pada kasus yang pertama tadi, dalam hati saya meragukan, benarkah ayahnya seperti itu? Atau jangan-jangan seperti yang saya uraikan diatas: berusaha tapi dianggap enteng? Saya pernah mendengar ada bapak cerita bahwa ayahnya ini sangat rajin sekali kerja bakti di Masjid. Ketika yang lain sudah istirahat, dia yang paling belakangan. Wallahu'alam.

Tetapi walau bagaimanapun, suami adalah pemimpinnya istri. Jangan hanya karena merasa usahanya tidak dihargai, kemudian dia pesimistis hingga menjadi suami Beng-Is. Sebagai pemimpin, dia berkewajiban mendidik, mengarahkan serta mengertikan istrinya terhadap kebajikan. Dia juga wajib memberi nafkah lahir batin kepada istrinya.

Jika istri mengabaikan usaha suami, cobalah mengertikan dia dengan cara yang santun. Berilah perumpamaan. Jangan hanya dibiarkan bahkan sampai suami merasa rapuh sendiri.

Pun begitu, suami tetaplah wajib memberi nafkah bagi keluarganya, semampunya dia. Rasulullah Saw bersabda ketika ditanya tentang haknya istri atas suaminya, "Kamu memberinya makan apabila kamu makan, kamu memberinya pakaian apabila kamu berpakaian...." (HR. Abu Dawud) Rasulullah Saw juga bersabda, "Cukuplah bagi seseorang berdosa apabila ia mengabaikan orang yang makan dan minumnya menjadi tanggungannya." (HR. Abu Dawud)
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!